SELAMAT DATANG Dr. JEFRI SITORUS, M.Kes semoga sukses memimpin KKP Kelas I Medan------------------------ Kami Mengabdikan diri Bagi Nusa dan Bangsa untuk memutus mata rantai penularan penyakit Antar Negara di Pintu Masuk Negara (Pelabuhan Laut, Bandar Udara dan Pos Lintas Batas Darat=PLBD) ------

Disease Outbreak News

Friday, April 11, 2008

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) in Brazil

10 April 2008 -- As of 28 March, 2008, the Brazilian health authorities have reported a national total of 120 570 cases of dengue including 647 dengue haemorrhagic fever (DHF) cases, with 48 deaths.

On 2 April 2008, the State of Rio de Janeiro reported 57 010 cases of dengue fever (DF) including 67 confirmed deaths and 58 deaths currently under investigation. Rio de Janeiro, where DEN-3 has been the predominant circulating serotype for the past 5 years since the major DEN-3 epidemic in 2002, is now experiencing the renewed circulation of DEN-2. This has led to an increase in severe dengue cases in children and about 50% of the deaths, so far, have been children of 0-13 years of age.

The Ministry of Health (MoH) is working closely with the Rio de Janeiro branch of the Centro de Informações Estratégicas em Vigilância em Saúde (CIEVS) to implement the required control measures and identify priority areas for intervention. The MoH has already mobilized health professionals to the federal hospitals of Rio de Janeiro to support patient management activities, including clinical case management and laboratory diagnosis.

Additionally public health and emergency services professionals have been recruited to assist community-based interventions. Vector control activities were implemented throughout the State and especially in the Municipality of Rio. The Fire Department, military, and health inspectors of Funasa (Fundacao Nacional de Saude, MoH) are assisting in these activities.

http://www.who.int/csr/don/2008_04_10/en/index.html

Thursday, April 10, 2008

Empat bulan pertama 2008 : 16 Kasus Positif Flu Burung dengan 13 orang Meninggal


Hingga Berakhirnya tahun 2007, Secara kumulatif kasus Flu Burung di Indonesia masih mencapai 116 orang, 94 orang diantaranya meninggal dunia. Angka kematiannya (Case Fatality Rate = CFR) 81,03%.

Demikian data yang dirilis Pusat Komunikasi Publik dari Posko Kejadian Luar Biasa (KLB) Flu Burung Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI per 25 Desember 2007.

Dalam tahun 2008 serangan sporadis Flu Burung di Indonesia masih tetap berlangsung. Update terakhir WHO dalam websitenya http://www.who.int/ pertanggal 8 April 2008, Secara kumulatif kasus Flu Burung di Indonesia telah mencapai 132 orang, 107 orang diantaranya meninggal dunia. Angka kematiannya (Case Fatality Rate = CFR) 81,06%.

Wednesday, April 9, 2008

Kapal Pesiar TS. Maxim Gorkiy Merapat di Pelabuhan Belawan

Kapal Merapat disambut dengan tari-tarian


Proses Kekarantinaan berupa pemberian ijin Karantina Kesehatan (Free Pratique) dilaksanakan oleh Musa Tarigan, SKM., H. Zulfan Anshary Nasution dan Uli Hasibuan, SE dari KKP Kelas II Medan

Kapal Pesiar TS. Maxim Gorkiy berbobot GT 24.220 yang diawaki 340 O rang Crew dan 35 Orang Staf, membawa Penumpang sebanyak 420 Orang telah merapat di dermaga Terminal Penumpang Pelabuhan BELAWAN pada jam 08.00 WIB. Kedatangan Kapal pesiar ini disambut para Stake Holder terkait antara lain: Komunitas Pelabuhan Laut yaitu CIQ (Custom, Imigration & Quarantine), Adpel, PT. Pelindo, Kapolres KP3 Belawan. Disamping itu terlihat juga beberapa Petugas Instansi lainnya seperti : Dinas Pariwisata Kota Medan dan Agen Pariwisata.
Para tamu sebanyak 420 orang tersebut berasal dari beberapa negara Eropa, dan sebelum turun mereka disambut dengan tari-tarian Melayu.
Direncanakan para turis tersebut akan berangkat sore ini menuju Phuket Thailand. Untuk mengisi acara di sumatera Utara, rombongan akan diarahkan ke berbagai objek-objek wisata di Kota Medan dan Berastagi (Desa Lingga Kabupaten Karo).

Menkes: Sampel Virus Flu Burung akan Diteliti Sendiri

08/04/2008 19:40 WIB


Surabaya - Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menolak mengirimkan sampel virus flu burung ke luar negeri. Virus-virus ini akan diteliti sendiri dengan membangun laboratorium standar internasional.

Menkes khawatir jika sampel virus dikirim ke luar negeri, bisa menjadi bumerang dan dipergunakan untuk senjata biologi.

"Kalau saya kirim untuk menjadi senjata biologi gimana," kata Menkes saat bedah buku miliknya yang berjudul "Saatnya Dunia Berubah. Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung" di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Selasa (8/4/2008).

Fadilah Supari mengatakan dirinya menolak permintaan lembaga kesehatan dunia untuk mengirim sampel virus flu burung dari Indonesia, karena menurutnya virus di Indonesia dengan negara lain berbeda. Dan dia tidak peduli dengan pandangan orang lain dengan sikap tegas dirinya tersebut.

Akibat sikap beraninya ini, menteri lulusan UGM ini mengungkapkan dirinya 'diancam' kalau laboratorium milik Indonesia tidak sesuai dengan standar internasional.

"Saya tidak menyandera virus. Tapi akan kita teliti sendiri. Kita akan bangun laboratorium yang standar internasional," ungkapnya.

Dokter ahli jantung ini menjelaskan, virus yang dikirim ke luar negeri bisa saja digunakan untuk senjata biologi. Awalnya virus untuk membuat vaksin. Namun pada suatu saat ditemukan Sequencing DNA.

"Saya dapat informasi itu dari majalah yang diberitakan koran Singapura pada tahun 2006. Baca buku saya dong," ujarnya dengan nada tertawa. ( bdh / mly )

Sumber : Irawulan – detikcom

http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/04/tgl/08/time/194004/idnews/920443/idkanal/10

Flu Burung : Riset Tak Terkoordinasi dengan Baik

Rabu, 9 April 2008 | 01:05 WIB

Jakarta, Kompas - Riset soal flu burung atau avian influenza pada unggas dan manusia hingga saat ini tidak terkoordinasi dengan baik. Setiap institusi atau lembaga penelitian melakukan riset sendiri-sendiri tanpa koordinasi sehingga kurang optimal manfaat penelitiannya.

Selain kurang koordinasi, kucuran dana juga sangat terbatas sehingga sejumlah peneliti menjalin kerja sama dengan lembaga penelitian di luar negeri. Padahal, hasil penelitian yang aplikatif sudah sangat mendesak di tengah merebaknya virus flu burung atau H5N1 yang telah menyebabkan meninggalnya 107 orang Indonesia. Jumlah kematian ini terbesar di seluruh dunia.

”Forum komunikasi peneliti H5N1 pada manusia dan unggas perlu dibentuk untuk saling tukar informasi. Ini untuk mewujudkan kemandirian riset,” kata Koordinator Unit Penyakit Berpotensi Wabah dan Hepatitis Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David Handojo Muljono di Jakarta, Selasa (8/4).

Secara terpisah Ketua Panel Ahli Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) Amin Soebandrio mengakui, selama ini para peneliti flu burung pada unggas dan manusia tidak berinteraksi. ”Sejak awal pengembangan riset terbentur kendala terbatasnya fasilitas, terutama terbatasnya laboratorium BSL-3 (biological safety level-3),” ujarnya. BSL-3 adalah laboratorium dengan tingkat keamanan yang sangat tinggi untuk penelitian virus-virus yang sangat berbahaya.

Menurut Amin, komunikasi antara peneliti flu burung pada manusia dan unggas diperlukan untuk mengetahui sejauh mana perubahan genetik virus itu. Pada sejumlah kasus ternyata genetik dari virus AI pada unggas berbeda dengan manusia.

”Kami sampai pada kesimpulan, virus flu burung baru bisa menular pada manusia jika terjadi perubahan atau mutasi gen,” kata Amin.

Mengingat pentingnya jejaring antarpeneliti, lanjut Amin, sejak akhir tahun lalu Komnas FBPI mengoordinasi pertemuan antarpeneliti flu burung pada unggas dan manusia untuk berbagi informasi secara berkala ataupun jika ada kasus.

Dilaporkan ke Depkes

Menurut David Handojo, berdasarkan nota kesepahaman dengan Departemen Kesehatan, Lembaga Eijkman berfungsi mengonfirmasi diagnosis infeksi virus H5N1 pada manusia untuk menganalisis adanya mutasi dan tanda-tanda aneh pada sampel virus lewat pengurutan DNA.

”Lembaga ini juga mengkaji risiko penilaian infeksi virus H5N1 dengan karakterisasi virus dan mengkaji risiko dari resistensi virus terhadap berbagai obat antivirus,” ujarnya.

Seluruh hasil riset itu dilaporkan ke Departemen Kesehatan sebagai dasar pengambilan kebijakan pengendalian flu burung pada manusia. Untuk mendukung kegiatan riset, pemerintah mendanai pembangunan laboratorium dengan tingkat keamanan biologis (BSL)-3, termasuk biaya pemeliharaannya.

Ratusan isolat virus AI

Secara terpisah Elly Siregar, Koordinator Unit Pengendalian Penyakit Avian Influenza Pusat Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian mengatakan, sejak merebaknya kasus avian influensa (AI) pada tahun 2004, peneliti di Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian telah melakukan pemantauan dan pengumpulan isolat virus yang ditemukan di empat sektor peternakan unggas di Indonesia. Hingga saat ini telah ada ratusan isolat virus AI yang dapat dikumpulkan dari peternakan skala rumah tangga hingga industri besar.

Program tersebut dilaksanakan Departemen Pertanian bekerja sama dengan laboratorium referensi milik International Office of Epizootics (IOE) yang berpusat di Geelong, Australia, dan Jaringan Pakar Flu Unggas Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Di tingkat nasional Departemen Pertanian melibatkan peneliti dari Balai Pengujian dan Penyidikan Veteriner di bawah Balai Besar Penelitian Veteriner yang berjumlah tujuh di seluruh Indonesia.

Pemetaan virus secara genetik juga dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner dalam jumlah terbatas. Kerja sama dengan Laboratorium referensi IOE diperlukan untuk mempercepat pekerjaan atau tugas melakukan antigenik dan pemetaan genetik serta challenge test (uji tantang).

Sementara itu, terbatasnya dana penelitian menyebabkan peneliti menjalin kerja sama dengan lembaga penelitian di luar negeri. Seperti dilakukan peneliti Ines Irene Atmosukarto dari Pusat Penelitian Bioteknologi pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengembangkan penelitian vaksin flu burung atas pembiayaan sebuah perusahaan bioteknologi Australia.

”Saya ada peluang untuk pengembangan vaksin flu burung dengan menggabungkan teknologi dari Australia dan Indonesia. Untuk penelitiannya di Australia karena di Indonesia tidak ada yang mendanai,” kata Ines Irene. Menurut Ines, riset vaksin flu burung di Canberra sekarang dijadwalkan akan berakhir pada akhir tahun 2008.

Secara terpisah Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI Jan Sopaheluwakan menyatakan, pengalihan riset vaksin atau antivirus burung ke luar negeri memang menjadi persoalan rumit. Penelitian seperti itu tidak bisa semata-mata dilihat dari sudut nasionalisme harus dilakukan di Tanah Air.

Otoritas kuat

Ketua Gabungan Pengusaha Perunggasan Indonesia (GPPI) Anton J Supit menegaskan, lemahnya implementasi penanganan penanggulangan flu burung karena tidak adanya otoritas yang kuat untuk menjalankan perencanaan yang telah dibuat. Akibatnya, berbagai program penanggulangan flu burung tidak berjalan.

Menurut Anton Supit, pemerintah telah membentuk komnas penanggulangan AI. Namun, kewenangan komnas ini amat dibatasi sehingga hanya bisa membuat perencanaan dan imbauan.

”Padahal dalam penanganan penyebaran virus flu burung harus melalui kerja lintasdepartemen. Akhirnya koordinasi tidak berjalan, apalagi dalam era otonomi daerah seperti sekarang,” katanya.

Oleh karena itu, kata Anton Supit, pemerintah harus memperkuat peran Komnas FBPI. Kewenangan harus diberikan penuh kepada lembaga ini untuk mengendalikan flu burung. Pejabat di departemen-departemen terkait serta di daerah harus tunduk dan patuh pada lembaga ini. (EVY/NAW/YUN/MAS)

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.09.01055014&channel=2&mn=154&idx=154

Tuesday, April 8, 2008

Masalah Flu Burung : Otonomi Daerah Turut Hambat Penanggulangan

Otonomi Daerah Turut Hambat Penanggulangan

Selasa, 8 April 2008 | 00:31 WIB

Jakarta, Kompas - Upaya menanggulangi penyebaran virus flu burung terhambat oleh banyak faktor, termasuk otonomi daerah atau otda. Sejumlah kepala daerah beranggapan flu burung merupakan masalah nasional sehingga sumber dana untuk upaya penanggulangan mestinya dari pemerintah pusat.

”Tidak semua pemerintah daerah mematuhi aturan dan program pengendalian flu burung yang sudah digariskan pemerintah pusat,” kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, seusai memberi ceramah soal virus flu burung di Kampus FISIP Universitas Indonesia, Senin (7/4).

Secara terpisah, Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian Musny Suatmodjo mengatakan, sejumlah daerah menganggap flu burung merupakan persoalan nasional sehingga mereka kurang serius menanganinya. ”Harus diakui, diperlukan pemimpin yang kuat dalam penanggulangan flu burung agar bisa dikurangi penyebarannya,” kata Musny.

Menurut dia, pemerintah pusat tidak bisa memaksa karena wilayah, unggas, peternak, dan vaksinasi semuanya sudah diserahkan ke daerah.

Ditanya apakah mungkin memaksa daerah dengan memberikan sanksi dalam bentuk pemotongan anggaran pertanian bagi daerah yang tidak mau menjalankan. Musny mengatakan, hal tersebut sulit dilakukan karena menyangkut kewenangan instansi lain.

Sementara itu, Ketua Umum Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) Don Utoyo mengatakan, upaya penanggulangan flu burung, dari sisi peraturan, sudah bagus. Misalnya saja ada pengaturan cara beternak yang baik, pola biosecurity, dan pengaturan lalu lintas unggas.

”Tetapi, dalam implementasinya kurang. Berbagai aturan yang dibuat tidak dijalankan dengan baik,” kata Don Utoyo.

Para pelaku usaha di perunggasan sudah berulang kali meminta kepada pemerintah agar flu burung mendapat prioritas penanganan secara cerdik. ”Namun, oleh pihak terkait (Departemen Pertanian) kurang dilakukan,” katanya.

Don Utoyo mencontohkan, dalam soal disinveksi massal, misalnya, hanya dilakukan secara sporadis. Vaksinasi juga tidak dilakukan secara tepat guna karena belum ada peta jenis virus di setiap wilayah. Pemerintah juga tidak bisa memberikan rekomendasi karena tidak punya virus maping.

”Akibatnya, vaksin yang digunakan bermacam-macam. Sekarang ini bahkan ada lebih dari 20 vaksin yang ada. Padahal belum tentu cocok dengan virus di lapangan,” katanya.

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengakui pengendalian penyakit flu burung di Indonesia belum berjalan optimal, terutama penanganan pada unggas sebagai sumber penularan virus itu. ”Manusia adalah korban terakhir penyebaran flu burung,” ujarnya.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Nyoman Kandun menambahkan rendahnya pemahaman masyarakat pada gejala dini penyakit flu burung turut memicu tingginya tingkat kematian karena penyakit ini. ”Ada pasien yang menganggap seperti terkena penyakit panas biasa,”ujarnya. (MAS/EVY/NAW)

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.08.00312061&channel=2&mn=154&idx=154

Monday, April 7, 2008

Melindungi Kesehatan Masyarakat Dari Dampak Perubahan Iklim

Depkes OL, 07 Apr 2008

Perubahan iklim merupakan tantangan yang paling serius saat ini. Dampak perubahan iklim sudah ada didepan mata kita. Bukti ini terlihat dari munculnya fenomena peningkatan suhu global, ketidakpastian musim, kekeringan yang berkepanjangan, permukaan es kutub utara yang semakin tipis dan kebakaran hutan. Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan Dr.dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP (K) pada seminar Sehari "Protecting Health From Climate Change" yang dibacakan Dirjen P2PL Depkes dr. I. Nyoman Kandun, MPH di Jakarta 7 April 2008.
Seminar diselenggarakan dalam memperingati Hari Kesehatan Sedunia ke-60 tanggal 7 April 2008. Tema yang dipilih adalah “Protecting Health from Climate Change”. Sedangkan Indonesia menetapkan tema “Perlingan Kesehatan dari Perubahan Iklim”.
Perubahan suhu yang ekstrim berhubungan dengan kematian dan kejadian kesakitan seperti heatstroke, frozenbyte, sun-burn, dan stres. Perubahan suhu, kelembaban dan kecepatan angin juga dapat meningkatkan populasi, memperpanjang umur dam memperluas penyebaran vektor sehingga berdampak terhadap peningkatan kasus penyakit menular seperti : malaria, dengue yellow fever, schistosomiasis, filariasis dan pes, ujar Menkes.
Menkes menambahkan, perubahan iklim menyebabkan terjadinya bencana banjir, tsunami, kekeringan, badai, tanah longsor dsb, sehingga mempengaruhi keterbatasan air bersih, kebutuhan sanitasi dasar, ketersediaan pangan yang akan menimbulkan masalah gizi dan menyebabklan rentan terhadap penyakit seperti water birne diseases dan food borne diseases.
Perubahan iklim juga mempengaruhi radiasi ultraviolet dan pencemaran udara yang dapat menimbulkan reaksi alergis dan infeksi karena debu dan bahan kimia yang terjadi sebagai pengaruh cuaca atau polusi udara seperti penyakit-penyakit saluran pernafasan. Berbagai penyakit diduga berkaitan dengan perubahan cuaca antala lain stroke, meningitis, katarak dan lain-lain, ujar Menkes.
Dampak perubahan iklim dapat dilihat dari batas musim hujan dan kemarau yang tidak lagi pasti. Suhu udara samakin panas, kemarau sering menjadi sangat panjang dan lamanya curah hujan menimbulkan banjir serta longsor. Gejolak alam yang dikenal dengan perubahan iklim ini mempengaruhi daya dukung alam terhadap kelangsungan hidup manusia.
Banjir meningkatkan risiko penyebaran leptospirosis, diare, kolera. Namun masalah perubahan iklim tidak sekadar banjir. Kenaikan suhu udara (di Indonesia mencapai 1°C di tahun 1998) menyebabkan masa inkubasi vekyor semakin pendek sehingga nyamuk malaria dan demam berdarah dapat berkembang biak lebih cepat. Jika tahun 1998 di Jawa-Bali terdapat 18 kasus Malaria per 100.000 penduduk, maka tahun 2000 meningkat menjadi 48 per 100.000 penduduk. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) juga meningkat setiap tahunnya, meski persentase kasus yang meninggal dapat terus diperkecil dengan penanganan medis.
Perubahan alam juga mempengaruhi pola perilaku dan perkembangan hewan yang berdampak pada peningkatan kasus penyakit yang penyebarannya terjadi melalui hewan. Suhu, kelembaban dan kecepatan angin dapat meningkatkan populasi, memperpanjang umur, dan memperluas penyebaran hewan pembawa penyakit. Sebagai contoh, daerah hidup nyamuk meluas ke dataran yang lebih tinggi. Musim kemarau panjang menyebabkan tikus hutan berpindah ke pemukiman, sehingga meningkatkan kemungkinan penyebaran pes.
Perubahan iklim juga mengganggu ketersediaan pangan. Peningkatan permukaan air laut karena melelehnya es di kutub, merusak ekosistem hutan bakau, menyebabkan intrusi air laut ke daratan sehingga air tawar semakin sulit didapat, serta mempersempit daratan yang digunakan untuk sektor pertanian. Air tawar semakin sulit diperoleh, dan kesulitan memperoleh air bersih menambah masalah dalam memerangi penyakit yang berhubungan dengan sanitasi.
Pemanasan air laut serta makin seringnya terjadi badai laut mempengaruhi sektor perikanan sebagai salah satu sumber pangan. Keterbatasan bahan pangan juga diakibatkan rusaknya siklus tanaman dan panen, selain kemarau panjang, banjir, dan longsor. Keterbatasan pangan tentunya menyumbang pada asupan gizi, kemudian kesehatan dan produktivitas penduduk. Upaya manusia membuka hutan untuk bertani, malah menyumbang pada perubahan iklim, karena hutan berfungsi menyerap gas rumah kaca (GRK) dan mengubahnya menjadi O2.
GRK adalah gas yang menghadang dan menyerap gelombang cahaya yang seharusnya memantul ke angkasa luar, menyebabkan radiasi matahari terperangkap di atmosfer bumi, dan meningkatkan suhu bumi. Tiga GRK utama adalah Karbondioksida (CO2), Dinitroksida (N2O), dan Metana (CH4). CO2 dan N2O terutama dihasilkan oleh pembakaran minyak bumi, gas dan batubara, serta kebakaran hutan yang diperlukan bagi energi listrik, menggerakkan transportasi dan industri. Polusi CO2 dan N2O sendiri sebenarnya telah memperburuk daya dukung lingkungan terhadap kesehatan, menimbulkan gangguan kesehatan dari gangguan pernafasan hingga stroke, bahkan kanker.
Metana adalah hasil proses pada sawah tergenang, pupuk, serta pengolahan sisa pertanian. Kotoran ternak, bahkan hembusan nafas ternak secara alami juga melepaskan Metana ke udara. Metana juga dilepaskan dari proses alami sampah, dan CO2 dihasilkan pembakaran sampah.
Melindungi diri dari perubahan iklim dibagi atas upaya mitigasi (minimalisasi penyebab dan dampak) dan adaptasi (menanggulangi risiko kesehatan), yang seringkali tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hemat adalah salah satu kuncinya. Reduksi pembakaran bahan bakar fosil dengan menghemat pemakaian listrik dan kendaraan bermotor. Hemat bahan pangan memperkecil produksi metan. Minimalisasi limbah dapat dilakukan dengan penghematan penggunaan kertas, plastik, dan melakukan daur ulang. Pemisahan sampah organik dan non-organik adalah hal yang mudah dilakukan namun sulit dimasyarakatkan. Ada baiknya kini mulai dimasyarakatkan.
Demi paru-paru kita, hijaukan lingkungan dengan pepohonan, jaga hutan, dan hentikan pembakaran hutan. Gunakan kelambu, hindari gigitan nyamuk. Cermati celah-celah dimana nyamuk bisa berkembang biak, bersihkan bersama dengan membersihkan lingkungan. Membersihkan lingkungan dapat memperkecil kemungkinan berkembang biaknya serangga dan hewan yang dapat menyebarkan penyakit. Ajak semua saudara dan tetangga bekerja bakti. Ajak semua untuk melindungi diri dari perubahan iklim.
Dalam Workshop akan disajikan 5 topik kaitannya dengan perubahan iklin, yaitu : Dampak perubahan iklim pada tataran global, regional, nasional dan masyarakat akan disampaika pembicaraan dari WHO Perwakilan Indonesia. Kesehatan dan perubahan iklim di Indonesia akan disampaikan Dirjen PP&PL. Peningkatan Kepedulian dan Pemahaman masyatakat terhadap dampak dari perubahan iklim akan disampaikan Erna Witoelar. Tantangan Pemenuhan Gizi Masyarakat akibat Perubahan Iklim akan disampaikan oleh Dirjen Ketahanan Pangan Deptan dan Skema jangka panjang dan jangka menengah antisipasi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat. Akan disampaikan pembicara dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI).
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan.

Kebijakan Mengatasi Flu Burung Tidak Jalan

Korban Terus Bertambah, Wilayah Sebaran Meluas

Senin, 7 April 2008 | 08:49 WIB

Jakarta, Kompas - Berbagai kebijakan pemerintah untuk menanggulangi penyebaran virus flu burung atau H5N1 tidak berjalan di tingkat operasional. Akibatnya, korban meninggal terus berjatuhan, bahkan Indonesia menempati urutan pertama korban flu burung yang paling banyak di dunia, setidaknya 107 orang meninggal.

China dan Vietnam, dua negara yang lebih dahulu terjangkit virus flu burung atau avian influenza (AI) pada tahun 2003, kini bahkan relatif bisa mengendalikan penyebaran virus tersebut. Jumlah korban terinfeksi dan meninggal di bawah Indonesia.

Sebaliknya, di Indonesia, korban terinfeksi dan meninggal terus bertambah, termasuk terjadinya kasus baru pada pekan ini di Padang (Sumatera Barat), Depok (Jawa Barat), dan Tegal (Jawa Tengah).

”Sejumlah kebijakan pemerintah tidak serius dilaksanakan,” kata anggota Panel Ahli Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI), Mangku Sitepu.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 5 tahun 2007 tentang Pengendalian Unggas. Pergub itu melarang pemeliharaan unggas ternak di permukiman dan mewajibkan sertifikasi unggas hias. Diharuskan pula melakukan relokasi tempat peternakan dan pemotongan unggas serta mengatur lalu lintas unggas hias dari daerah lain.

Namun, hingga Minggu (6/4), kebijakan itu tak berjalan. Masih banyak unggas yang berkeliaran di permukiman dan masih marak usaha pemotongan unggas di permukiman padat penduduk. Razia dari petugas kelurahan dan dinas peternakan juga tidak dilakukan secara berkelanjutan.

Relokasi tempat peternakan dan pemotongan unggas ternak di Rawa Kepiting, Jakarta Timur, misalnya, belum berjalan.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo memperkirakan, relokasi seluruh peternakan dan tempat pemotongan unggas akan selesai 2010 sesuai amanat pergub. Selain masalah pembangunan lokasi penampungan unggas yang baru, masalah yang muncul adalah sosialisasi pada masyarakat.

Tidak serius

Mangku Sitepu menyatakan, merebaknya kasus flu burung disebabkan pemerintah kurang memfokuskan pengendalian penyakit ini pada unggas sebagai sumber penularan. Hal ini ditandai dengan belum optimalnya pencegahan penularan AI antarunggas serta lemahnya pengawasan lalu lintas perdagangan unggas.

Ketua Pelaksana Harian Komnas FBPI Bayu Krisnamurthi menyatakan, merebaknya kembali kasus flu burung di sejumlah tempat perlu diwaspadai. ”Jika dilihat beberapa tahun terakhir ini, siklus peningkatan kasus flu burung dalam setahun hampir serupa. Kasus meningkat pada Januari hingga akhir Maret, mulai turun pada April,” kata Bayu.

Sejauh ini, lanjut Bayu, pengendalian AI terhambat oleh terbatasnya pengetahuan tentang flu burung, terutama karakter virus, model penularan virus antarunggas, dan faktor utama penyebab seseorang terinfeksi flu burung. ”Departemen Pertanian juga masih mencari vaksin mana yang paling cocok untuk unggas,” ujarnya.

Selain itu, sampai sekarang belum terbentuk sistem nasional yang menyeluruh mengenai pengendalian penyakit yang bersumber pada binatang (zoonosis).

Belum dimusnahkan

Dari Kota Depok dilaporkan, Wali Kota Depok Nur Mahmudi Isma’il belum memutuskan untuk memusnahkan unggas di lingkungan tempat tinggal Mulyanti, pasien suspek flu burung yang meninggal dunia, Minggu malam. Langkah itu baru akan dipikirkan setelah adanya hasil tes laboratorium terakhir di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, yang dijadwalkan akan keluar Senin ini.

”Kami masih menunggu sampai besok (Senin), setelah hasil tes yang ketiga diketahui,” kata Nur Mahmudi seusai melayat ke rumah duka.

Dari Padang dilaporkan, dua pasien terduga flu burung, masing-masing Etriani (29) dan Afifa (2), yang tengah dirawat di RSUP Dr M Djamil, Padang, masih menunggu satu hasil pemeriksaan paru-paru untuk memastikan keduanya terinfeksi virus flu burung atau tidak.

Sebelumnya, satu anak balita bernama Alifa Qonza (21 bulan) sudah dinyatakan positif terinfeksi virus flu burung. Hingga kini korban masih dirawat di ruang isolasi RSUP Dr M Djamil. Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Barat Rosnini Savitri, Minggu, mengatakan, tim medis di rumah sakit masih terus memantau perkembangan ketiga pasien tersebut. (ECA/EVY/MUK/THY/ART/WIE)

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.07.08490317&channel=2&mn=154&idx=154

Travel Notices - CDC Travelers' Health

MANTAN-MANTAN KEPALA KKP MEDAN