SELAMAT DATANG Dr. JEFRI SITORUS, M.Kes semoga sukses memimpin KKP Kelas I Medan------------------------ Kami Mengabdikan diri Bagi Nusa dan Bangsa untuk memutus mata rantai penularan penyakit Antar Negara di Pintu Masuk Negara (Pelabuhan Laut, Bandar Udara dan Pos Lintas Batas Darat=PLBD) ------

Disease Outbreak News

Friday, September 26, 2008

Sosialisasi Flu Burung Sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Jakarta, 24 Sep 2008

Penyakit flu burung (FB), masih menular dari unggas ke manusia. Padahal di banyak negara Asia, Eropa dan Afrika, sudah terjadi pandemi FB pada unggas. Dengan semakin seringnya menginfeksi manusia, dikhawatirkan virus FB yang Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI-H5N1) bermutasi menjadi virus yang menular antar manusia. Bila ini terjadi, maka bencana besar tidak bisa dielakkan dengan jumlah kematian dan kesakitan yang banyak serta kekacauan sosial ekonomi, kesedihan serta kesengsaraan umat manusia. Karena itu, semua pihak termasuk perusahaan multi nasional diminta memiliki strategi penanggulangan FB dan Pandemi Influenza. Selain itu sosialisasi pengendalian FB kepada karyawan dan lingkungannya menjadi bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan atau Corparate Social Responsibility (CSR).

Demikian pernyataan Menkes Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) dihadapan 100 pemilik perusahaan (CEO) dari berbagai jenis bidang usaha, ketika membuka "Sosialisasi Pengendalian FB dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza di lingkungan perusahaan/industri" di Jakarta tanggal 23 September 2008.

Kekhawatiran Menkes itu dilandasi pengalaman masa lalu ketika terjadi pandemi flu Spanyol tahun 1918 yang menimbulkan kematian 40-50 juta orang di seluruh dunia dalam waktu yang relatif singkat.

Menurut Menkes, pemerintah sangat serius dalam pengendalian FB di Indonesia. Melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2006 telah membentuk Komisi Nasional Pengendalian FB dan Kesiapsiagaan Mengdadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) guna mengkoordinasikan upaya pengendalian FB secara nasional. Presiden juga telah mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian virus FB, untuk menekan jumlah penderita FB pada manusia.

"Karena itu, tidak bijaksana bila kita tidak bersiapsiaga mengantisipasi ancaman pandemi influenza yang akan datang. Pencegahan timbulnya pandemi influenza di masa yang akan datang secara global sedang diupayakan. Jika upaya ini nanti ternyata tidak berhasil, maka dampak pandemi itu harus dapat ditekan sekecil mungkin dengan kesiapsiagaan yang terencana dan teruji rapi", ujar Dr. Siti Fadilah.

Pengendalian FB dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza di lingkungan perusa-haan/industri merupakan bagian integral dari kesiapsiagaan nasional maupun global, harus direncanakan dan diujicoba secara rapi dan teliti. Kalau hal ini tidak dilakukan, sulit dampak pandemi itu dibuat sekecil mungkin di lingkungan perusahaan/industri. Hal ini berarti dampaknya terhadap masyarakat luas akan tetap besar sekali dan tidak terkendali. Padahal, episenter pandemi ini mungkin saja mulai terjadi di bagian tertentu di dunia, kata Menkes.

Virus H5N1 pertama kali dideteksi pada ternak unggas pada bulan Agustus 2003 dan infeksi subtipe H5N1 pada manusia pertama kali dikonfirmasi di Indonesia Juli 2005. Tantangan FB semakin meningkat baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat regional dan global. Kasus flu burung pada manusia sudah dideteksi di banyak negara yaitu Azerbaijan, Bangladesh, Cambodia, China, Djibouti, Mesir, Indonesia, Iraq, Laos, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Thailand, Turkey dan Viet Nam. Pada tingkat nasional, jumlah provinsi endemik flu burung pada unggas sudah sangat meningkat sehingga hanya dua provinsi saja yang masih bebas FB yaitu Gorontalo dan Maluku Utara. Kejadian Luar Biasa (KLB) FB pada unggas masih terjadi secara sporadik di berbagai daerah, tambah Menkes.

Menkes menyatakan, FB merupakan penyakit yang relatif baru. Karena itu masih memerlukan kajian dan penelitian dari berbagai ahli seperti epidemiologi, klinis, diagnostik, imunologi dan virologi. Contohnya, deteksi dini dan pengobatan awal FB di Puskesmas diperlukan suatu kit diagnostik cepat (rapid test) dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Begitu pula dalam aspek pencegahan, vaksin FB untuk manusia masih dalam proses penelitian produsen vaksin dan para ahli. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan sedang berupaya mengembangkan vaksin FB manusia dan kit diagnostik cepat.

Menkes mengakui, keberadaan unggas bagi masyarakat luas sangatlah penting dari segi ekonomi dan sosial. Investasi total dalam peternakan unggas mencapai 35 Milyar dollar Amerika dengan peredaran uang mencapai US$30 Milyar per tahun. Industri peternakan jugai menyerap 10 juta tenaga kerja. Sedangkan total ternak unggas mencapai 1,3 Milyar ekor, dimana 20% diantaranya merupakan peliharaan dibelakang rumah (backyard farm) oleh 30 juta rumah tangga di Indonesia.

Dengan demikian, penanggulangan masalah FB di Indonesia tidak boleh dilakukan secara sem-barangan, tetapi harus terencana dan terlaksana secara teliti serta rapi. Seperti dalam pepatah "seperti menarik rambut dari tepung; tepung jangan terserak dan rambut jangan sampai putus", ujar Menkes.

Menkes menegaskan, Indonesia sudah mempunyai Rencana Stratejik Nasional untuk pengendalian FB dan Kesiapsiagaan Pandemi Influenza (National Strategic Plan for Avian Influenza Control and Pandemic Influenza Preparedness) 2006-2008. Beberapa kegiatan yang sedang ditingkatkan, antara lain:

  1. Mengembangkan 8 laboratorium diagnostik regional dan laboratorium Badan Litbangkes menjadi BSL-3 (Bio Safety Level 3), untuk memeriksa virus hidup.
  2. Meneruskan sosialisasi kebijakan dan intensifikasi penatalaksanaan kasus serta kecepatan rujukan kasus.
  3. Memperkuat Early Warning System (deteksi dini) dan Surveilans.
  4. Melengkapi alat-alat perawatan intensif di 100 rumah sakit rujukan.
  5. Mengintensifkan komunikasi risiko dalam membangun kesadaran lapisan masyarakat.
  6. Mengembangkan desa siaga di bidang kesehatan termasuk pencegahan dan penanggulangan FB.
  7. Mengembangkan "Pilot Project" pencegahan dan penanggulangan FB di Tangerang sebagai model, bekerja sama dengan pemerintah Singapura.
  8. Memperkuat koordinasi lintas sektor terutama dengan Departemen Pertanian yang kompeten dalam penanganan sumber infeksi pada unggas.
  9. Penelitian epidemiologi, klinis, lingkungan dan virologis.
  10. Memproduksi Oseltamivir dalam negeri dan mengembangkan vaksin berbasis strain H5N1 Indonesia dan rapid test untuk mendeteksi virus FB pada manusia, bekerjasama dengan luar negeri.

Selain itu, juga telah memiliki Rencana Kontijensi Pandemi Influenza. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.000 pulau, maka perlu sesegera mungkin mensosialisasikan ke daerah-daerah pedoman tentang penanggulangan FB termasuk pedoman tentang penatalak-sanaannya sehingga kesiapsiagaan seluruh tanah air dapat ditingkatkan.

Sumber : Depkes Online

Thursday, September 25, 2008

Cholera in Guinea Bissau

Since the beginning of May 2008, Guinea-Bissau has been facing a large cholera outbreak. As of 21 September, 7 166 cases had been reported throughout the country, among whom 133 people had died. The overall case-fatality rate stands at 1.9%, and decreases below 1% for hospitalized cases. However, the case-fatality rate reaches 9% in remote areas, indicating that rural populations affected by cholera do not have access to treatment rapidly enough to save lives. The fact that Bissau, the capital, accounts for more than 70% of all cases but only 31% of deaths also illustrates this issue. The areas with the highest attack rates are Bissau, Biombo, Bijagos and Oio. Cholera epidemics regularly resurge in Guinea-Bissau. In 2005-2006, cholera affected 25 111 people and killed 399.

Numerous national and international partners are supporting the Ministry of Health. Médecins sans Frontières (MSF-Spain) took charge of cholera treatment centres by building local capacity, and improving early detection and treatment of cases through systematic patient home visits. UNICEF is providing technical expertise and material in the area of water and sanitation; WHO is deploying an epidemiologist. A team from The US Centers for Disease Control (CDC) - Brazil team - have also arrived in the country to support the outbreak investigation. In addition, efforts are being made to strengthen community mobilization, health and hygiene education, and to de-stigmatize cholera among potentially-affected populations.

Cholera is mainly transmitted through contaminated water and food and is closely linked to inadequate environmental management. In many areas of Guinea-Bissau, basic infrastructures appear to be largely inefficient. The overall quality of water and sanitation remains very poor, therefore facilitating cholera transmission. Long-term prevention of cholera depends on access to safe water and adequate sanitation to prevent exposure and interrupt transmission. In addition, corpses of deceased cholera patients should be handled with extreme caution and correctly disinfected before proceeding with the burial ceremony to avoid further contamination.

WHO does not recommend any restrictions to travel or trade to or from affected areas as a means to control the spread of cholera.

Source : WHO

Wednesday, September 24, 2008

Waspadai Produk Makanan China

Masuk RI Lewat Jalan Cincai

Jakarta - Produk makanan olahan dari China sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Makanan seperti manisan, dodol dan permen misalnya. Produk-produk itu telah masuk di Indonesia sejak ratusan tahun lalu

Karena hubungan dagang yang cukup lama antara Indonesia dan China, tak heran bila produk asal negeri tirai bambu tersebut membanjiri pasar ritel Indonesia. "Dibanding negara-negara lain, China yang paling banyak memasok produk ritelnya ke Indonesia,"kata pengamat Ritel Indonesia Handaka Santosa.
Malah belakangan, produk ritel asal China itu mulai mendesak produk ritel asal Indonesia. Pasalnya, produk-produk asal China lebih variatif dan inovatif. Di samping itu, harga produk-produk dari China harganya relatif lebih murah.
Handaka, yang merupakan bekas Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menuturkan, masyarakat banyak menggandrungi produk asal China karena harganya lebih murah dan variatif. Akhirnya, banyak produk-produk ritel dalam negeri yang kalah bersaing.
Murahnya produk-produk dari China lantaran di negeri itu, pembiayaan pabriknya lebih murah dibanding Indonesia. Untuk produk ekspornya, pengusaha China juga mendapat kredit dengan bunga yang lebih rendah.
Tapi ada faktor lain yang membuat harganya jauh lebih murah dibanding produk lokal. Penyebabnya, banyak produk China yang tidak terkena biaya. Caranya, dengan memasukan barang dengan cara selundupan. Ada juga yang masuk karena ada cincai dengan petugas.
Hasilnya, banyak produk-produk China yang tidak terdaftar di Departemen Perindustrian dan Perdagangan beredar bebas di pasaran. "Produk-produk ritel asal China banyak yang tidak terdaftar. Sehingga sangat rentan dampaknya bagi masyarakat. Karena tidak terpantau," ujar Handoko.
Selain itu, banjirnya produk ilegal ini lantaran sikap apatis aparat di seluruh pelabuhan dan bandara di Indonesia. Sebab banyak penumpang yang membawa beberapa produk dari China, dalam skala kecil, dan kemudian dijual di Indonesia. Barang-barang tentengan semacam ini banyak beredar di masyarakat tanpa melalui proses uji laboratorium.
"Harusnya petugas bandara melarang barang-barang itu masuk. Di Australia atau Singapura, kalau kedapatan membawa barang tentengan dalam jumlah besar dari luar negeri langsung dibuang dan dimusnahkan. Sehingga tidak bisa masuk ke dalam negerinya," jelasnya.
Langkah antisipasi yang dilakukan pemerintah Australia dan Singapura ini dilakukan untuk menjaga masyarakatnya dari barang-barang yang mungkin bisa membahayakan masyarakatnya.
Sedangkan di Indonesia, sejumlah produk ritel dari China banyak yang tidak terdaftar banyak beredar luas di masyarakat. Ketika produk makanan yang beredar itu disebut-sebut bisa mengganggu kesehatan, intansi terkait seperti Badan Pengawasan Obat dan makanan (BPOM) baru melakukan operasi. Padahal makanan-makanan itu sudah dikonsumsi masyarakat.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Thomas Darmawan, juga mengakui kalau banyak produk ritel asal China yang tidak terdaftar. Namun dia menolak memberikan komentar lebih jauh kenapa hal itu bisa terjadi.
"Sekarang yang jadi persoalan masalah susu yang mengandung melamine. Dan itu tidak ada di Indonesia. Jangan melebar ke masalah lain," jelas Darmawan.
Masalah lain yang dikatakan oleh Darmawan tersebut maksudnya adalah makanan-minuman olahan dari China. Alasannya, dengan mengait-ngaitkan makanan dan minuman asal China dengan susu bermelamine dampaknya akan merugikan perdagangan di Indonesia.
Saat sejumlah produk asal China yang diduga mengandung formalin dilarang edar 2007, lalu, pemerintah China China kemudian melakukan langkah balasan dengan melarang produk Indonesia terutama, produk Sea Foodnya. Sebab ikan-ikan laut dari Indonesia disebut punya kadar mercury.(ddg/iy)
Sumber : Deden Gunawan
- detikNews

Tuesday, September 23, 2008

Flu Burung Bikin RI Rugi Rp 5 Triliun


 

Virus H5N1 tipe A atau yang lebih dikenal dengan flu burung tidak hanya menimbulkan korban manusia. Sejak pertama kali mewabah, dampak kerugian virus ini pada perekonomian Indonesia diperkirakan mencapai Rp 5 triliun.

"Dampak kerugian flu burung atau avian influenza pada perekonomian di Indonesia sebesar Rp 5 triliun," kata Deputi III Menko Kesra bidang Koordinasi Kependudukan Kesehatan dan Lingkungan Hidup Emil Agustiono di acara 'Sosialisasi Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Avian Influenza di Lingkungan Perusahaan/Industri' yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (23/9).

Untuk dampak langsung terhadap ekonomi Indonesia, Emil menyebutkan hal itu meliputi biaya mencegah wabah flu burung pada unggas dan manusia, pemusnahan unggas dan biaya kompensasi bagi pemilik unggas, biaya perawatan dan pengobatan.

"Sedangkan dampak tidak langsung yakni adanya penurunan produksi dan konsumsi unggas dan telur," ujarnya.

Emil menyebutkan, secara global dampak kerugian ekonomi akibat pandemi flu burung mencapai US$ 2

triliun yang untuk biaya respon medik dan biaya respon non kesehatan. "Dampak tidak langsungnya pada kelumpuhan industri," terangnya.

Pemerintah, lanjut Emil telah melakukan langkah-langkah untuk melindungi sektor perekonomin dari dampak pandemi flu burung. Beberapa diantaranya adalah melakukan sosialisasi ancaman pandemi flu burung kepada semua pelaku bisnis, advokasi terhadap semua pelaku bisnis, serta melaksanakan simulasi penanganan pandemi influenza di lingkungan pelaku bisnis (sektor perbankan, industri, telekomunikasi, transportasi, energi dan UKM).

"Koordinasi dan komunikasi antar pelaku bisnis merupakan kata kunci untuk memahami ancaman pandemi," pungkasnya.[L6]

Sumber : Samsul Hidayat INILAH.COM

Melamine-contaminated powdered infant formula in China


 

Over 6240 cases of kidney stones in infants with three deaths have been reported from across China as of 17 September. Kidney stones in infants are very rare.

The Ministry of Health of China has confirmed that these cases are related to melamine-contaminated powdered infant formula consumed by the infants. While the exact onset date of illness resulting from contamination is unknown, a manufacturer received a complaint of illness in March 2008.

Following inspections conducted by China's national inspection agency, at least 22 dairy manufacturers across the country were found to have melamine in some of their products (levels varied between 0.09mg/kg and 2.560 mg/kg). Two companies exported their products to Bangladesh, Burundi, Myanmar, Gabon and Yemen. While contamination in those exported products remains unconfirmed, a recall has been ordered from China.

A recall is also ongoing for all contaminated products in China.

The World Health Organization (WHO) is in close communication with the Ministry of Health of China to monitor the situation. WHO has also been disseminating information on the situation to WHO Member States through the International Food Safety Authorities Network (INFOSAN). INFOSAN has also specifically alerted the five countries importing potentially contaminated products from China.

WHO recommends breastfeeding as the ideal way of providing young infants with the nutrients they need for healthy growth and development. Exclusive breastfeeding is recommended up to six months of age.

Melamine-contaminated powdered infant formula in China - update

22 September 2008 -- China's Ministry of Health reported over the weekend that nearly 40,000 children have sought medical treatment related to the consumption of melamine-contaminated powdered infant formula. Almost 12,900 are currently hospitalized.

Three deaths have been confirmed as being related to contamination of infant formula. One is under further investigation.

Authorities of Singapore and Hong Kong SAR reported finding melamine in dairy products manufactured in China. A three-year old girl received treatment in Hong Kong due to consumption of the contaminated milk.

WHO will continue to share information through its International Food Safety Authorities Network (INFOSAN) to help national authorities to be better informed and enable them to better target their monitoring.

Travel Notices - CDC Travelers' Health

MANTAN-MANTAN KEPALA KKP MEDAN