SELAMAT DATANG Dr. JEFRI SITORUS, M.Kes semoga sukses memimpin KKP Kelas I Medan------------------------ Kami Mengabdikan diri Bagi Nusa dan Bangsa untuk memutus mata rantai penularan penyakit Antar Negara di Pintu Masuk Negara (Pelabuhan Laut, Bandar Udara dan Pos Lintas Batas Darat=PLBD) ------

Disease Outbreak News

Saturday, October 11, 2008

Unknown disease in South Africa and Zambia

10 October 2008 -- On 12 September, an office employee at a safari tour company living and working in Zambia underwent medical evacuation to South Africa with an as-yet unknown disease. The patient died in a Johannesburg hospital on 14 September.

On 27 September, the paramedic who cared for the index case during her evacuation to South Africa was admitted to hospital in Johannesburg where he died on 2 October. In addition, a nurse who cared for the index case in South Africa died on 5 October in Johannesburg.

Laboratory analysis has been conducted in South Africa at the Special Pathogens Unit, National Institute for Communicable Diseases (NICD) of the National Health Laboratory Service. Samples have, so far, tested negative for a series of viral haemorrhagic fevers and other common infectious disease pathogens. Tests to identify the pathogen continue at the NICD in South Africa and further testing will be performed at the Special Pathogens and Infectious Disease Pathology branches of the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Atlanta, United States. CDC and NICD are technical partners in the Global Outbreak Alert and Response Network (GOARN ).

Clinical features common to the three patients initially include fever, headache, diarrhoea and myalgia developing into rash and hepatic dysfunction, followed by rapid deterioration and death. Bleeding was not a marked clinical feature (NICD report (.pdf)).

There are no further known symptomatic cases, either in Zambia or in South Africa. 121 known contacts of the fatal cases are being traced in South Africa and 23 in Zambia.

WHO and its partners are actively supporting the investigation at provincial and national levels. Epidemiologists from the WHO African Regional Office have arrived to assist both countries, and personal protective equipment (PPE) and sampling equipment are en route to Lusaka. WHO is also providing support to the Ministries of Health of the two countries with epidemiological investigations, active case finding and follow-up of contacts.

While the investigations and follow-up of contacts continue, there have been no new cases since the last death on 4 October. There is no indication at this point of the need for any restriction of travel to or from Zambia or South Africa and no special measures are required for passengers arriving from these countries.

WHO African Regional Office is providing updated information to the WHO Country Offices in the neighbouring countries.

Monday, October 6, 2008

Info OMKA : Pembiaran Komunikasi Ragu dan 'Lelet' Ala BPOM

Informasi tentang keamanan pangan dan obat merupakan hal yang mutlak diperoleh publik tanpa terkecuali dari penyelenggara negara, dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Berbagai kasus ketidakamanan pangan dalam lima tahun terakhir terus menerus mengusik publik tanpa kepastian yang jelas. Produk pangan menjadi sangat sensitif bagi semua orang karena jika pangan yang kita telan tidak aman, dapat berefek buruk terhadap kesehatan atau bahkan kematian.

Terkait dengan masalah keamanan pangan, publik dengan keterbatasan pada akses ke teknologi, pengetahuan dan kemampuannya sulit untuk dapat mengetahui apakah suatu produk pangan berbahaya atau tidak jika tidak ada informasi resmi dan dapat dipertanggungjawabkan. Baik informasi dari industri dan tentunya Pemerintah sebagai pemberi izin dan pengawas. Dalam hal ini BPOM dan kemungkinan juga Departemen Kesehatan sebagai regulator.

Dasar dari semua informasi untuk publik hanya berdasarkan dua Undang-Undang, yaitu UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, beserta aturan pelaksanaannya.

Banyaknya kasus keamanan pangan dalam 5 tahun terakhir sangat meresahkan publik dan patut diduga muncul sebagai akibat 'lelet'-nya komunikasi Pemerintah dalam hal ini BPOM. Kasus bakso mengandung borax, makanan berformalin, susu mengandung bakteri enterobacter sakazakii dan yang terakhir kasus melamine dalam susu produk China telah menimbulkan keresahan publik yang dasyat akibat 'lelet'-nya kerja BPOM.

Tidak jarang langkah BPOM bukannya menyelesaikan masalah tetapi menimbulkan polemik yang berkepanjangan dan semakin meresahkan publik, contohnya susu yang mengandung enterobacter sakazakii yang sampai digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh seorang pengacara.

Contoh lainnya pada kasus terkini, yaitu kasus melamine pada pangan produk China yang menggunakan susu bermelamine lamban diantisipasi BPOM karena konon saat kasus mulai merebak para petinggi BPOM sedang berada di luar negeri sehingga para bawahan kesulitan mengambil keputusan. Tidak saja konsumen pangan yang menunggu-nunggu keputusan atau langkah-langkah BPOM tetapi juga pedagang/pengecer dan industri di seluruh Indonesia cemas.

Apakah harus menunggu sampai jatuh korban, baru Negara bertindak? Pembiaran semacam ini tentunya tidak boleh dibiarkan karena kepentingan konsumen dilindungi UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 huruf c yang menyatakan bahwa Hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Langkah "Lelet" dan Ragu BPOM

Langkah dan tindakan BPOM terhadap ketidakberesan produksi, iklan, label dan distribusi pangan, obat serta kosmetika seharusnya dapat diambil secara tegas dan cepat karena secara legal kewenangan BPOM sudah ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Pendayaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 264 A/Menkes/SKB/VII/2003 dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan.

Selain itu Keppres No. 103 Tahun 2001, yang kemudian diubah menjadi Keppres No. 46 Tahun 2002 tentang organisasi Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) dan Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, BPOM juga memberikan mandat kepada BPOM sebagai penyelia, melakukan supervisi, pelatihan dan menyusun standar keamanan pangan.

Pada kasus susu yang mengandung enterobacter sakazakii, Kepala BPOM, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Menteri Kesehatan dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tidak menginformasikan merek susu yang tercemar enterobacter sakazakii. Begitu pula pada kasus melamine pada susu China, BPOM tidak menginformasikan dengan jelas dan tegas kepada publik serta tidak memberikan teguran langsung ke industri seperti PT Kraft Food Indonesia (Oreo Wafer) dan Mars (M&M's dan Snickers). Namun teguran BPOM diajukan melalui Asosiasi Peretail Indonesia (Aprindo). Ada apa? Patut diduga ada yang disembunyikan oleh BPOM.

Masalahnya di pasar Indonesia saat ini banyak beredar produk sejenis yang dilarang, seperti Oreo, M&M's, Snickers dan lain-lain yang tidak menggunakan campuran susu dari China. Apakah produk tersebut juga harus ditarik? Informasinya serba tidak jelas dan membuat publik bertanya-tanya. Selain itu banyak pula produk impor ilegal sejenis (Oreo, M&M's, Snickers dll) yg menggunakan label non bahasa Indonesia beredar atau dijual di pasar swalayan besar tanpa ada tindakan dari BPOM.

Dugaan saya BPOM memang ragu dalam memberikan informasi ke publik. BPOM juga ragu menindak dan patut diduga memang melakukan pembiaran masuknya produk pangan ilegal ke pasar Indonesia. Tidak percaya? Coba anda berkunjung ke pasar swalayan/modern, seperti Food Hall, Ranch Market, dan lain-lain. Ada biskuit Oreo, coklat bar Snickers, coklat Pocky, biscuit Ritz buah dalam keleng produk Malaysia dan berbagai produk pangan impor ilegal lain yang tidak terdaftar di BPOM dipajang diberbagai sudut ruangan tanpa khawatir akan ada razia atau penyitaan yang dilakukan oleh BPOM.

Sesuai dengan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 37 huruf c yang menyatakan: "Terhadap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan bahwa pangan terlebih dahulu diuji dan atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi sebelum peredarannya".

Jadi jelas tanpa ada tanda uji dari BPOM (kode MD untuk produk lokal dan ML untuk produk impor diikuti 12 digit angka), produk pangan tersebut ilegal dan harus disita oleh BPOM bukan dibiarkan seperti saat ini.

Bagi industri atau distributor produk ilegal sanksinya jelas diatur pada UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan Pasal 58 huruf b dan c yang menyatakan "Barang siapa memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2); menghambat kelancaran proses pemeriksaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53; dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah)".

Jadi jika sampai Kepala BPOM "lelet" dan ragu dalam memberikan informasi kepada konsumen, industri dan distributor tentang adanya kandungan melamine dalam susu dari China serta tidak menarik produk ilegal dari pasar, maka secara hukum patut diduga Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Menteri Kesehatan telah melakukan pembiaran terjadinya pelanggaran hukum.

Bagaimana Sikap Masyarakat?

Publik sebagai pihak yang akan, sedang dan sudah mengkonsumsi produk pangan tentunya tetap harus kritis. Hak publik untuk kritis dalam hal kualitas pangan dilindungi oleh UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan seperti yang tertera pada Pasal 51: "Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan bagi orang perseorangan yang mengkonsumsi pangan, sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku".

Jadi dengan lambannya BPOM dalam menangani berbagai kasus produk pangan berbahaya, masyarakat harus dengan sadar segera mengingatkan Kepala BPOM. Jika Kepala BPOM tetap mengabaikan koreksi publik, maka saya menganjurkan agar publik segera mendaftarkan pembiaran yang dilakukan oleh Kepala BPOM dan Menteri Kesehatan ke Pengadilan Negeri setempat. Publik terpaksa harus meminjam palu hakim untuk mengingatkan Kepala BPOM agar taat hukum.

Ingat! Jika anda juga membiarkan komunikasi ragu dan 'lelet' ala BPOM tanpa melakukan koreksi, artinya anda semua ikut berperan dalam pelanggaran hukum yang patut diduga akan menelan korban cukup besar. Jadi sebagai konsumen tetaplah kritis dan waspada. (nrl/nrl)

Sumber : Agus Pambagio – detikNews

http://www.detiknews.com/read/2008/10/06/100908/1015829/103/pembiaran-komunikasi-ragu-dan-lelet-ala-bpom

Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)

Travel Notices - CDC Travelers' Health

MANTAN-MANTAN KEPALA KKP MEDAN