SELAMAT DATANG Dr. JEFRI SITORUS, M.Kes semoga sukses memimpin KKP Kelas I Medan------------------------ Kami Mengabdikan diri Bagi Nusa dan Bangsa untuk memutus mata rantai penularan penyakit Antar Negara di Pintu Masuk Negara (Pelabuhan Laut, Bandar Udara dan Pos Lintas Batas Darat=PLBD) ------

Disease Outbreak News

Friday, December 5, 2008

Indonesia Masuk Negara 'The Fastest Growing Epidemic' untuk AIDS

UNAIDS menyatakan Indonesia termasuk salah satu negara dengan pertambahan orang yang mengidap HIV/AIDS paling tinggi di kawasan Asia atau the Fastest Growing Epidemic in Asia.

"Hal itu disebabkan pertama upaya pencegahan penularan HIV/AIDS belum begitu intensif. Terutama hal itu terlihat dari hasil surveilans terakhir," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia (KPAI) Nafsiah Mboi kepada Media Indonesia pada acara gerak jalan santai dan bersepeda santai untuk memperingati Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada 1 Desember, di area Gelora Senayan, Minggu (30/11).

Pada acara yang dihadiri Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie, Nafsiah mengatakan pencegahan kalangan pengguna narkoba suntik juga masih belum begitu berhasil.

"Tetapi perilaku pengguna narkoba suntik sudah mengalami perubahan. Kendati penjangkauan kalangan narkoba yang dilakukan masih belum mencukupi," ujar Nafsiah.

Terkait dengan penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, Nafsiah mengatakan Indonesia juga masih menghadapi persoalan serius. Pasalnya, data penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual masih tinggi dan bahkan meningkat dibandingkan dua tahun lalu.

"Misalnya, kasus aborsi yang berisiko menularkan HIV juga masih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus meningkatkan terus upaya pencegahan," tuturnya.

Menurut Nafsiah, jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia yang tercatat dan melaporkan hingga sekarang tercatat sebanyak 21.151 orang. Tetapi jumlah sebenarnya pengidap HIV/AIDS di seluruh Nusantara diestimasi mencapai 200 ribu orang.

Saat ditanya kenapa Thailand sukses menekan pertambahan pengidap HIV/AIDS sedangkan Indonesia kurang berhasil. Sekretaris KPAI itu mengatakan pemerintah Thailand telah lebih melakukan pencegahan termasuk kampanye penggunaan kondom secara gencar sejak tahun 90-an.

Bahkan KPA Nasional Thailand berada langsung di bawah Perdana Menteri. Tindakan dan kepemimpinan terhadap penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS bergerak cepat dan serius.

"Indonesia ketinggalan 15 tahun. Upaya penecegahan HIV/AIDS di Indonesia telah dilakukan pertama kali pada 1994. Tetapi belum banyak kegiatan. Baru pada 2004, muncul Komitmen Sentani. Perpres No 75 Tahun 2006 yang mengatur penanggulangan HIV/AIDS baru diterbitkan pada 2006. Jadi Indonesia bisa dikatakan serius menangani HV/AIDS mulai 2004," katanya.

Pada sambutan di hadapan ribuan peserta jalan dan bersepeda santai untuk memperingati Hari AIDS Sedunia dengan tema nasional Yang Muda Yang Membuat Perubahan, Menpora mengatakan Indonesia harus bebas dari AIDS. "Pencegahannya salah satunya moral," katanya.

Menpora mengatakan berdasarkan laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) mengungkapkan 15 ribu orang terlibat narkoba dan 40 orang mati setiap hari karena narkoba. Pengguan narkoba suntik merupakan kelompok yang sangat rentan terinfeksi HIV/AIDS.

"Dengan kegiatan olahraga, kita diharap turut mencegah penyebaran HIV/AIDS."

Sementara itu Menko Kesra mengatakan tema nasional Hari AIDS Sedunia 'Yang Muda Yang Membuat Perubahan' sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Karena laporan Depkes hingga Juni 2008, kasus AIDS kumulatif berumur 15-29 tahun yang berkontribusi 57% dari total kasus AIDS.

"Dari laki-laki yang berhubungan dengan penjaja seks, sebanyak 50% adalah mereka yang berusia kurang dari 30 tahun dan belum menikah. Perkembangan lainnya yang merisaukan adalah meningkatnya prevalensi HIV dari waktu ke waktu," jelasnya. (Drd/OL-02)

Sumber : Deri pada http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDc0MTU=

Thursday, December 4, 2008

Cholera in Zimbabwe

As of 1 December 2008, the Ministry of Health in Zimbabwe has reported a total of 11 735 cholera cases with 484 deaths since August 2008, affecting all provinces in the country. The overall case fatality rate is 4% but has reached up to 20–30% in remote areas. Out of the total number of cases, 50% have been reported from Budiriro, a high density suburb of the capital city, Harare. Beitbridge, a town bordering South Africa, has reported 26% of all cases. In the last two days, two additional areas have been affected: Chegutu (in Mashonaland West province) and Mvuma (in Midlands province). Reports have also been received from the Ministries of Health in neighbouring countries confirming cholera cases have occurred in Musina (South Africa), Palm Tree (Botswana) and Guro district (Mozambique).

Cholera outbreaks have become more frequent in Zimbabwe since the early 1990s. However, with the exception of the large outbreaks that occurred in 1999 and 2002, the disease has been kept under control through intensified prevention and preparedness activities.

Cholera is mainly transmitted through contaminated water and food and is closely linked to inadequate environmental management. Recent interruptions to the water supplies, together with overcrowding, are aggravating factors in this epidemic. ZINWA (Zimbabwe National Water Authority) has pledged to correct the water supply and sewage system as a matter of urgency.

The Ministry of Health and WHO, together with its health sector partners (UNICEF, IOM, OXFAM-GB, Medecins du Monde, ICRC, ACF, MSFSpain - Holland & Luxemburg, Plan International, GOAL, Save the Children-UK and others), have established a comprehensive and coordinated cholera response operational plan to address the needs of the population in the affected areas, emphasizing a multi-sectoral response. WHO is procuring emergency stocks of supplies to meet identified gaps and is deploying a full outbreak investigation and response team, including epidemiologists, water and sanitation engineers and social mobilization specialists. In addition, an epidemiologist and three data managers from the WHO Inter-country Support Team in Harare are assisting the WHO Country Office in data monitoring, analysis and mapping.

Communities are being encouraged to protect themselves against cholera by adhering to proper food safety practices as well as to good personal hygiene. Early rehydration at home by using oral rehydration salts is paramount to diminishing mortality.

Mass chemoprophylaxis with antibiotics is strongly discouraged, as it has no effect on the spread of cholera, can have adverse effects by increasing antimicrobial resistance and provides a false sense of security.

Once an outbreak has started, WHO does not recommend the use of the current internationally available WHO prequalified oral cholera vaccine. This is due to its 2-dose regimen, the time required to reach protective efficacy and the high cost and heavy logistics associated with its use.

The use of the parenteral cholera vaccine has never been recommended by WHO due to its low protective efficacy and the occurrence of severe adverse events.

In controlling the spread of cholera, WHO does not recommend any special restrictions to travel or trade to or from affected areas. However, neighbouring countries are encouraged to strengthen their active surveillance and preparedness systems.

http://www.who.int/csr/don/2008_12_02/en/index.html

Wednesday, December 3, 2008

Penyebab Kematian Telah Bergeser Dari Penyakit Menular

Jakarta, 02 Dec 2008


 

Penyebab kematian di Indonesia untuk semua umur, telah terjadi pergeseran dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Penyebab kematian perinatal (0-7 hari) yang terbanyak adalah respiratory disorders (gagguan pernafasan) (35,9%) dan premature (32,3%), sedangkan untuk usia (7-28 hari) penyebab kematian yang terbanyak adalah sepsis neonatorum (infeksi bakteri) (20,5%) dan congenital malformations (kelainan pada janin) (18,1%). Penyebab kematian bayi yang terbanyak adalah diare (31,4%) dan pneumonia (23,8%). Sedangkan untuk penyebab kematian anak balita sama dengan bayi, yaitu terbanyak adalah diare (25,2%) dan pneumonia (15,5%). Sedangkan untuk usia > 5 tahun, penyebab kematian yang terbanyak adalah stroke, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Hal itu disampaikan dr. Triono Sundoro, Ph.D, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes pada Simposium Nasional IV hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tanggal 2 Desember 2008 di Jakarta.

Riskesdas menghasilkan berbagai data penting masalah kesehatan, misalnya prevalensi gizi buruk yang berada diatas rata-rata nasional (5,4%) ditemukan pada 21 provinsi dan 216 kabupaten/kota. Sedangkan berdasarkan gabungan hasil pengukuran Gizi Buruk dan Gizi Kurang Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional sebesar 18,4%. Namun demikian, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi yang diproyeksikan sebesar 20%, dan target Mil/enium Development Goals sebesar 18,5% pada 2015, telah dapat dicapai pada 2007, tutur dr. Triono.

Menurut dr. Triono, Posyandu merupakan tempat yang paling banyak dikunjungi untuk penimbangan balita yaitu sebesar 78,3%; balita yang ditimbang secara rutin (4 kali atau lebih), ditimbang 1-3 kali dan yang tidak pernah ditimbang) berturut-turut adalah 45,4%, 29,1%, dan 25,5%. Sedangkan kegiatan di posyandu untuk pemberian suplemen gizi (47,6%), PMT (45,7%), pengobatan (41,2%) dan imunisasi (55,8%). Secara keseluruhan, cakupan imunisasi pada anak usia 12 - 23 bulan menurut jenisnya yang tertinggi sampai terendah adalah untuk BCG (86,9%), campak (81,6%), polio tiga kali (71,0%), DPT tiga kali (67,7%) dan terendah hepatitis B (62,8%), ujar dr. Triono.

Sedangkan proporsi bayi berat lahir rendah (BBLR) sebesar 11,5% (berdasarkan catatan yang ada), dan ibu hamil yang memeriksaan kehamilan sebanyak 84,5%. Pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada ibu hamil adalah pemeriksaan tekanan darah (97.1%) dan penimbangan berat badan ibu (94,8%). Sedangkan jenis pemeriksaan kehamilan yang jarang dilakukan pada ibu hamil, adalah pemeriksaan hemoglobin (33,8%) dan pemeriksaan urine (36,4%), kata dr. Triono.

Khusus untuk provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua ditemukan sebanyak 60% melahirkan bayinya di rumah. Penolong persalinan yang dominan di perkotaan adalah bidan [61,7%), sedangkan di perdesaan yang dominan adalah dukun bersalin (45,9%).

Hasil utama Riskesdas 2007 menggambarkan hubungan penyakit degeneratif seperti sindroma metabolik, stroke, hipertensi, obese dan penyakit jantung dengan status sosial ekonomi masyarakat (pendidikan, kemiskinan, dll). Penyakit hipertensi misalnya, tidak berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi (kuintil pengeluaran/distribusi penduduk berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita) seperti pada kuintil 1 (30,5%) dan kuintil 5 (33,0%), dan mulai banyak dijumpai pada kelompok usia muda 15-17 tahun (8,3%).

Tidak ada perbedaan perilaku merokok antara status sosial ekonomi rendah dan tinggi. Ditemukan peningkatan proporsi usia mulai merokok pada umur <20 tahun, dari 10,3% (SKRT, 2001) menjadi 11,9% (Riskesdas, 2007), tutur dr. Triono.

Proporsi low vision (penglihatan terbatas) di Indonesia adalah sebesar 4,8% (Asia 5% - 9%), kebutaan 0,9% dan katarak (1,8%) yang meningkat dari 1,2% menurut SKRT 2001. Patut diduga bahwa peningkatan jumlah kasus katarak ini berkaitan erat dengan peningkatan umur harapan hidup penduduk Indonesia pada periode 2005-2010 (69,1 tahun) dibanding periode 2000-2005 (66,2 tahun). Prevalensi nasional gangguan mental emosional pada penduduk yang berumur ~ 15 tahun adalah 11,6%, ujar dr. Triono.

Mengenai pentingnya Riskesdas, dr. Triono menyatakan, hingga kini belum tersedia data berbasis populasi yang memadai untuk perencanaan pembangunan sampai tingkat kabupaten/kota. Untuk itu, Balitbangkes Depkes menyelenggarakan Riskesdas 2007. Riskesdas adalah kegiatan riset yang diarahkan untuk mengetahui gambaran kesehatan dasar penduduk termasuk biomedis yang dilaksanakan dengan cara survey rumah tangga di seluruh wilayah kabupaten/kota secara serentak dan periodik.

Dalam Riskesdas 2007 berhasil dikumpulkan sebanyak 258.366 sampel rumah tangga dan 987.205 sampel anggota rumah tangga untuk pengukuran berbagai variabel kesehatan masyarakat. Riskesdas 2007 juga mengumpulkan 36.357 sampel untuk pengukuran berbagai variabel biomedik dari anggota rumah tangga yang berumur lebih dari 1 tahun yang bertempat tinggal di desa/kelurahan dengan klasifikasi perkotaan.

Khusus untuk pengukuran gula darah, berhasil dikumpulkan sebanyak 19.114 sampel yang diambil dari anggota rumah tangga berusia lebih dari 15 tahun. Untuk tes cepat yodium, berhasil dilakukan pengukuran pada 257.065 sampel rumah tangga. Sedangkan untuk pengukuran yodium di dalam urin, berhasil dilakukan pengukuran pada 8.473 sampel anak berumur 6-12 tahun yang tinggal di 30 kabupaten/kota dengan berbagai kategori tingkat konsumsi yodium, ujar dr. Triono.

Riskesdas, lanjut dr. Triono, merupakan salah satu perwujudan 4 grand strategy Depkes, yaitu berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence-based melalui pengumpulan data dasar dan indikator kesehatan. Indikator yang dihasilkan antara lain meliputi status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum, merepresentasikan gambaran wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

Menurut dr. Triono, pertanyaan yang menjadi dasar pengembangan Riskesdas 2007 adalah: 1. Bagaimana status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; 2. Bagaimana hubungan antara kemiskinan dan kesehatan; dan 3. Apakah terdapat masalah kesehatan yang spesifik?

Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, ujar dr. Triono, dirumuskan tujuan antara lain penyediaan data dasar status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga maupun tingkat individual, dengan ruang lingkup : 1. Status gizi; 2. Akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan; 3. Sanitasi lingkungan; 4. Konsumsi makanan; 5. Penyakit menular, penyakit tidak menular dan riwayat penyakit keturunan; 6. Ketanggapan pelayanan kesehatan; 7. Pengetahuan, sikap dan perilaku; 8. Disabilitas; 9. Kesehatan mental; 10. Imunisasi dan pemantauan pertumbuhan; 11. Kesehatan bayi; 12. Pengukuran anthropometri, tekanan darah, /ingkar perut dan lingkar lengan atas; 13. Pengukuran biomedis; 14. Pemeriksaan visus; 15. Pemeriksaan gigi; 16. Berbagai autopsiverbal peristiwa kematian; dan 17. Mortalitas.

Dr. Triono menyatakan, disain Riskesdas 2007 merupakan survei cross sectional yang bersifat deskriptif. Populasi dalam Riskesdas 2007 adalah seluruh rumah tangga di seluruh pelosok Republik Indonesia. Sam- pel rumah tangga dan anggota rumah tangga dalam Riskesdas 2007 dirancang identik dengan daftar sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Susenas 2007. Berbagai ukuran sampling error termasuk didalamnya standard error, relative standard error, confidence interval, design effect dan jumlah sampel tertimbang menyertai setiap estimasi variabel.

Dr. Triono mengakui adanya keterbatasan Riskesdas, mencakup non-random error antara lain: pembentukan kabupaten baru, blok sensus tidak terjangkau, rumah tangga tidak dijumpai, periode waktu pengumpulan data yang berbeda, estimasi tingkat kabupaten tidak bisa berlaku untuk semua indikator, dan data biomedis yang hanya mewakili blok sensus perkotaan. Khusus untuk lima provinsi (Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT) baru dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2008, sementara 28 provinsi lainnya telah selesai dilaksanakan pada tahun 2007.

Menurut dr. Triono, hasil Riskesdas ini sangat bermanfaat sebagai asupan dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan program kesehatan. Dengan 900 variabel, maka hasil Riskesdas 2007 telah dan dapat digunakan antara lain untuk pengembangan riset dan analisis lanjut, pengembangan nilai standar baru berbagai indikator kesehatan, . penelusuran hubungan kausal-efek, dan pemodelan statistik.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Setjen Depkes RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi telp./fax. 52907416-19 /529-21669, 5223002 atau email puskom. publik@yahoo.co.id.

Sumber : http://www.depkes.go.id/


 

Monday, December 1, 2008

HIV/AIDS : Sumut "Lampu Kuning"

Medan, Kompas - Tingginya angka pengidap HIV/AIDS di Sumatera Utara membuat provinsi ini berada dalam status "lampu kuning". Hingga Oktober 2008, jumlah pengidap HIV/ AIDS di seluruh Sumut mencapai 1.331 orang, dengan jumlah akumulasi penderita yang telah meninggal dunia sebanyak 107 orang.

Menurut Ketua Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan AIDS Sumut dr Linda T Maas, melihat tingginya angka pengidap HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS (acquired immuno deficiency syndrome), Sumut sudah bisa dimasukkan ke dalam daerah dengan status "lampu kuning" untuk penyebaran virus mematikan ini. "Dari pendataan memang sudah cukup tinggi. Sudah masuk lampu kuning untuk Sumut. Namun, yang terdata ini kan tidak seperti yang kami harapkan karena fenomenanya seperti gunung es," ujarnya di Medan, Minggu (30/11).

Medan, Deli Serdang, dan Toba Samosir, menurut Linda, merupakan tiga daerah dengan jumlah pengidap HIV/AIDS terbesar di Sumut. Linda mengatakan, dari jumlah pengidap HIV/AIDS se-Sumut, sekitar 60 persen berusia 20 sampai 49 tahun. "Dari jumlah ini, 50 persen lebih berusia 20-29 tahun. Sebanyak 50 persennya tertular karena narkoba suntik," katanya.

Linda mengatakan, tema peringatan Hari AIDS se-Dunia 1 Desember tahun ini sudah sangat tepat, yakni "Orang Muda Membawa Perubahan". "Selama ini penularan HIV/AIDS yang paling tinggi masih dari hubungan seks berisiko dan juga dari narkoba suntik. Jumlah pengidap HIV/ AIDS dari narkoba suntik ini paling banyak adalah kalangan anak muda. Sudah tepat tema Hari AIDS se-Dunia," katanya. (BIL)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/01/00061659/sumut.lampu.kuning

HIV/AIDS : 57 Persen Pengidap Berusia 15-30 Tahun

Berdasar data statistik laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai Juni 2008, sekitar 57 persen total kasus HIV/AIDS menimpa orang berusia 15-30 tahun.

Demikian dikatakan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sekaligus Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional Aburizal Bakrie di Jakarta, Sabtu (29/11).

Terkait peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2008 yang bertema "Yang Muda Yang Membuat Perubahan", Aburizal Bakrie mengingatkan kaum muda agar lebih waspada dan menjaga diri dari bahaya HIV/AIDS.

"Pria yang berhubungan dengan penjaja seks, sekitar 50 persen di antaranya berusia kurang dari 30 tahun dan belum menikah. Perkembangan lain yang merisaukan yaitu terus meningkatnya prevalensi HIV," papar Aburizal.

Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault selaku Ketua Panitia Nasional Peringatan Hari AIDS Sedunia 2008 mengemukakan, HIV/AIDS merupakan virus terganas dan membahayakan kelangsungan hidup manusia yang hingga sekarang belum ditemukan obatnya. "Sehingga semua negara di dunia sepakat memerangi, menanggulangi, dan mencegah penyebarannya," tutur Adhyaksa.

Anak-anak terancam

Ribuan orang dan anak-anak Indonesia terancam virus mematikan ini. Tahun 2008, sebanyak 18.963 orang terjangkit HIV/AIDS, sekitar 798 orang di antaranya berusia 0-19 tahun. Jumlah ini masih jauh di bawah estimasi yang dibuat oleh Departemen Kesehatan tahun 2006, yaitu 193.000. DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Papua adalah tiga dari 33 provinsi dengan kasus tertinggi.

Trihadi Saptoadi, Direktur Nasional World Vision Indonesia, mengatakan, anak-anak harus menjadi prioritas utama dalam pencegahan HIV/AIDS. (LOK)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/01/0037527/57.persen.pengidap.berusia.15-30.tahun


 

Wabah Kolera Tewaskan 53 Orang di Zimbabwe'

JENEWA--MI: Kematian 53 lebih orang karena penyakit kolera tercatat di Zimbabwe dalam satu hari bersama dengan 1.600 kasus baru, PBB mengatakan Selasa (25/11) waktu setempat, dan menyebutkan korban meninggal sejak Agustus mencapai 366 orang dan jumlah kasusnya 8.887 kasus.

Wabah itu juga memuat "dimensi regional", Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) memperingatkan, menunjuk pada laporan dari kementerian kesehatan Afrika Selatan mengenai yang diduga kasus kolera di Botswana.

"Wabah kolera belum terkendalikan. Kasus yang dilaporkan telah mencapai 8.887, dengan 366 kematian pada 25 November. Ini peningkatan 1.604 kasus dan 53 lagi kematian dari hari sebelumnya," kata OCHA.

Kantor itu mengatakan korban kematian yang lebih besar itu karena sebagian besar kematian lagi dilaporkan dari Beitbridge, yang berbatasan dengan Afrika Selatan.

Pada akhir pekan, pejabat kesehatan Afrika Selatan dan Zimbabwe bertemu untuk menangani wabah kolera yang juga telah menewaskan orang di Afrika Selatan itu.

Para pejabat kesehatan Afrika Selatan mengatakan rumah sakit di Musina, sebuah kota Afrika Selatan dekat perbatasan Zimbabwe, telah menangani 168 pasien, tiga dari mereka meninggal. (AFP/Ant/OL-06)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDY1OTM=

Travel Notices - CDC Travelers' Health

MANTAN-MANTAN KEPALA KKP MEDAN