SELAMAT DATANG Dr. JEFRI SITORUS, M.Kes semoga sukses memimpin KKP Kelas I Medan------------------------ Kami Mengabdikan diri Bagi Nusa dan Bangsa untuk memutus mata rantai penularan penyakit Antar Negara di Pintu Masuk Negara (Pelabuhan Laut, Bandar Udara dan Pos Lintas Batas Darat=PLBD) ------

Disease Outbreak News

Friday, May 25, 2012

Biar Polio Cepat Tuntas, WHO Akan Umumkan Darurat Global

Jumat, 25/05/2012 07:50 WIB

Jenewa, Pemberantasan polio sudah dirintis sejak 1988 oleh organisasi kesehatan dunia atau WHO. Namun karena hingga kini masih mewabah di 3 negara, WHO akan tetapkan status darurat polio global agar polio cepat lenyap seperti halnya cacar.

Meski sebelumnya pernah ditargetkan tuntas pada tahun 2000, sampai sekarang polio masih mewabah di 3 negara yakni Afghanistan, Nigeria dan Pakistan. Artinya, kasusnya di ketiga negara ini masih bisa dikatakan sangat tinggi dan diduga pemicunya adalah gagalnya program vaksinasi.

Sebelumnya, India masuk dalam daftar negara endemis namun resmi dicoret pada 25 Februari 2012 setelah dalam setahun terakhir tidak ada kasus baru yang ditemukan. Sayangnya, beberapa negara termasuk China, yang sebelumnya sudah sempat dinyatakan bebas polio, belakangan kembali menemukan kasus baru.

Dengan kondisi seperti ini, maka upaya untuk mempercepat pemberantasan polio harus dilakukan. Sebab jika tidak, diperkirakan akan ada 20.000 anak yang bakal menjadi cacat dalam sepuluh tahun ke depan.

"Pemberantasan polio sekarang berada pada titik kritis antara berhasil dan gagal," ujar Margaret Chan, Direktur Jenderal WHO lewat sebuah pernyataan yang disampaikan di konferensi di Jenewa, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (26/5/2012).

Meski belum benar-benar berhasil sampai tuntas, pemberantasan polio sebenarnya sudah menampakkan hasil. Jika saat pertama kali dicanangkan tahun 1988 angka kelumpuhan akibat polio mencapai 350.000 kasus/tahun, pada tahun 2010 tinggal 1.352 kasus/tahun.

Jika pemberantasan polio yang dipercepat melalui status darurat global ini berhasil, maka penyakit ini akan menjadi penyakit kedua setelah cacar (smallpox) yang akhirnya bisa diberantas sampai tuntas.

Polio merupakan penyakit yang dipicu oleh virus dan menyerang sistem saraf. Hanya dalam beberapa jam setelah infeksi, penderitanya bisa mengalami kelumpuhan total. Dari 200 orang yang terinfeksi dan menjadi lumpuh, kurang lebih ada 1 yang lumpuhnya bersifat permanen.

Infeksi polio juga sering berakibat fatal, dalam arti penderitanya bisa sampai meninggal dunia. Penderita polio yang meninggal umumnya mengalami kegagalan fungsi pernapasan, sebab otot paru-parunya ikut lumpuh.
(up/ir)

Meningococcal disease: situation in the African Meningitis Belt

From 1 January to 17 April 2012 (epidemiologic week 17), outbreaks of meningococcal disease have been reported in 42 districts in 10 of the 14 countries of the African Meningitis Belt 1. These outbreaks have been detected as part of the enhanced surveillance.
The 10 countries (Benin, Burkina Faso, Chad, Central African Republic, Côte d'Ivoire, Gambia, Ghana, Mali, Nigeria and Sudan) reported a total of 11 647 meningitis cases including 960 deaths resulting in a case fatality ratio of 8.2%. The outbreaks were mainly caused by the W135 serogroup of Neisseria meningitidis (Nm) bacteria.
In response to the outbreaks, the Ministries of Health implemented a series of preventive and control measures which included enhancement of surveillance, case management, sensitization of the population, strengthening of cross border collaboration and provision of vaccines through the International Coordinating Group on Vaccine Provision for Epidemic Meningitis Control (ICG).
The ICG released a total of 11 000 vials of antibiotic (Ceftriaxone) and 1 665 673 doses of vaccines to six countries (see table below 2) most affected by the epidemic, upon requests. The vaccines released include 919 023 doses of polysaccharide ACW/ACYW vaccine, 746 650 doses of meningitis A conjugate vaccine and 81 418 doses of polysaccharide AC vaccine.
The ICG is working with manufacturers and partners to ensure the stockpiles of the appropriate vaccines are maintained in sufficient quantities, for responding effectively to epidemics in the future. ICG partners include WHO, International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC), United Nations Children Fund (UNICEF), and Médecins Sans Frontières (MSF).
The emergency stockpile was established with the support of Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI). The vaccination campaigns were conducted with the support of MSF, UNICEF, IFRC, the European Community Humanitarian Aid Office (ECHO), and the United Nations through its Central Emergency Response Fund (CERF).
WHO continues to monitor the epidemiological situation closely, in collaboration with partners and Ministries of Health in the affected countries.

1 The 14 countries in the African Meningitis Belt with enhanced surveillance for meningococcal disease include Benin, Burkina Faso, Cameroon, the Central African Republic, Chad, Côte d'Ivoire, the Democratic Republic of the Congo, Ethiopia, Ghana, Mali, Niger, Nigeria, Sudan and Togo.

Source: http://www.who.int/csr/don/2012_05_24/en/index.html

Tuesday, May 22, 2012

Pembukaan World Health Assembly ke-65



Pertemuan tertinggi negara-negara anggota World Health Organization (WHO), yaitu World Health Assembly (WHA) ke 65 resmi dibuka (21/5) di gedung “Palais des Nation” di Jenewa, Swiss. Kegiatan WHA akan berlangsung pada 21-26 Mei 2012.

WHA ke 65 ini akan membahas 20 agenda yang terdiri dari agenda pleno dan 2 sidang komite, yaitu Komite A Technical Matters dan Komite B Administrative Matters. Tema utama adalah Towards Universal Health Coverage. Dalam WHA, nantinya akan dihasilkan 13 Resolusi dan 4 Keputusan

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE dalam surat elektronik yang diterima Pusat Komunikasi Publik Kemenkes RI.

Pembukaan diawali dengan sambutan dari perwakilan Pemerintah Swiss, dilanjutkan dengan pembacaan sambutan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang dibacakan oleh Direktur Jenderal Kantor PBB di Jenewa, Mr. Kassym-Jomart Tokayev. Selanjutnya, para delegasi memilih Minister of Health and the Fight against AIDS dari negara Côte d’Ivoire, yaitu Professor Thérèse N’Dri-Yoman sebagai ketua sidang atau Health Assembly’s new president.

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama menyatakan Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc., PhD., terpilih menjadi salah satu dari lima Health Assembly’s Vice Presidents. Kelima wakil ketua sidang tersebut berasal dari negara Afghanistan, Indonesia, Paraguay, Republik Moldova, dan Kepulauan Solomon.

Selain itu, Dirjen PP dan PL Kemenkes RI juga mendapatkan kehormatan untuk menjadi Alternate Head of Delegation Indonesia. Selain Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, wakil ketua Delegasi Republik Indonesia (Delri) juga dijabat oleh Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak, Dr. dr. H. Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H, MARS, M.Kes. Penasihat Delri dalam Sidang WHA ke-65 di Jenewa, yaitu Staf Ahli Menkes RI Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan, dr. R. Triono Soendoro, Ph.D, dan Kepala Pusat Kerjasama Luar Negeri Kemenkes RI, Dra. Niniek Kun Naryatie. Anggota Delri lainnya, antara lain: Direktur Bina Kesehatan Ibu Kemenkes RI, dr. Gita Maya Koemara Sakti S., MHA; Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, dr. Diah Setia Utami, Sp.KJ, MARS; Kabid Pembiayaan Kesehatan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes RI, dr. Donald Pardede, MPPM; Kasubdit Imunisasi Direktorat Surveilans Imunisasi dan Kesehatan Matra Kemenkes RI, dr. Theresia Sandra Diah Ratih, MHA; Kabid Pusat Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbangkes, Dr. Vivi Lisdawati, M.Si, Apt.; Kabid Kerjasama Kesehatan Bilateral dan Multilateral Pusat Kerjasama Luar Negeri Kemenkes RI, dr. Widyarti; Kasie Standarisasi Subdit Bina Kesehatan Maternal dan Pencegahan Komplikasi Direktorat Bina Kesehatan Ibu Kemenkes RI, dr. Imran Pambudi, MPHM dan Kasubbag Protokol Kemenkes RI, Ardian Atmantoro, S.Pd.

Pada pembukaan WHA tersebut, Duta Besar Republik Indonesia dan Perwakilan Tetap RI di Jenewa juga turut mewakili Indonesia menghadiri acara pembukaan yang diikuti oleh perwakilan dari seluruh negara di dunia yang menjadi anggota WHO tersebut.

Dalam pertemuan WHA, beberapa topik yang akan dibahas diantaranya jaminan kesehatan masyarakat atau universal health coverage, pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), Penyakit Tidak Menular (PTM), Mental Health dan Gizi.

Prof. dr. Tjandra menambahkan, sebelumnya pada 20 Mei 2012 sore hari, Delegasi RI (DELRI) melakukan rapat persiapan menjelang WHA di kantor Perwakilan Tetap RI (PTRI) di Jenewa.

Usai acara pembukaan, siang harinya, Prof. dr. Tjandra mengikuti pertemuan Gerakan Non Blok atau non alignment movement tentang kesehatan. Dalam pertemuan tersebut, Direktur Jenderal WHO, Dr. Margaret Chan menyatakan betapa pentingnya aspek kesehatan di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Beliau juga mengingatkan semua negara berkembang anggota Gerakan Non Blok harus mempersiapkan diri era sesudah 2015, yaitu era pasca MDGs.

Menjelang sore hari, kegiatan WHA diisi dengan sambutan Direktur Jenderal WHO, Dr. Margaret Chan, yang baru saja terpilih kembali untuk jabatan tersebut untuk kedua kalinya. Dalam sambutannya, Dr. Margaret Chan memandang bahwa aspek kepemimpinan sangat penting dalam pembangunan kesehatan suatu Negara atau Pemerintahan. Pada kesempatan tersebut, Dr. Margaret Chan mengapresiasi peran penting Indonesia dalam kesetaraan dan transparansi dalam virus and access to benefit sharing. Sungguh, ini sebuah kebanggaan bagi Indonesia.

Selain itu, Dr. Margaret Chan juga menyoroti pentingnya International Health Regulation (IHR), penanganan terhadap Neglected Tropical Diseases seperti salah satunya Schistosomiasis, pentingnya Universal Health Coverage, dan penanggulangan penyakit tidak menular (PTM).

“We must look beyond the cause of preventable death” ujar Dr. Margaret Chan.

Ini berarti jangan hanya melihat masalah kesehatannya saja, tapi juga determinan sosial dan hal-hal lain yang mempengaruhinya, terang Prof. Tjandra Yoga Aditama.

Sementara itu sore harinya, Wamenkes RI didampingi Dirjen PP dan PL Kemenkes RI, mengadakan pertemuan bilateral dengan Menteri Kesehatan US Amerika. Dan malam harinya, bersama-sama menghadiri pertemuan yang diselenggarakan Pemerintah Swiss bagi pimpinan delegasi yang hadir dalam gelaran World Health Assembly ke 65.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021) 52907416-9, faksimili: (021) 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 500-567 dan 081281562620 (sms), atau e-mail kontak@depkes.go.id

RI 4 besar penderita TBC

JAKARTA - Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Trihono menegaskan jika penyakit tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merajalela di Indonesia. Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang kasus TB nomor 4 di dunia setelah India, China dan Afrika Selatan. Diperkirakan, ada 430 ribu kasus TB baru dan 169 orang di antaranya meninggal setiap hari.

"Kita harus akui bahwa hingga saat ini penyakit TB masih sangat merajalela karena masih menjadi penyebab kematian nomor dua setelah stroke, dan bahkan untuk Indonesia bagian timur saat ini sudah menjadi nomor satu," ujarnya,  hari ini.
join_facebookjoin_twitter

Menurutnya, saat ini sebenarnya TB menyebar secara merata di seluruh wilayah. Namun, kondisi yang paling memprihatinkan adalah di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Papua, Maluku, NTT, dan NTB.

Kondisi ini memprihatinkan karena ada hubungannya dengan faktor kemiskinan, perilaku hidup sehat, dan sebagainya. Namun, ada tren baru sekarang yakni koinfeksi TB yang sangat signifikan. Biasanya koinfeksi yang dimaksud adalah HIV AIDS, TB multidrug, dan penyakit degeneratif lainnya.

"Kasusnya sama yakni, koinfeksi tersebut terbanyak berada di Indonesia timur dimana ada penyakit lain, maka 90 persen pasti terinfeksi TB," ujarnya.

Pemerintah sendiri sudah menggelontorkan dana sebesar Rp2 triliun untuk penanggulangan TB di seluruh Indonesia. Namun, upaya penanggulangan tersebut menemui sejumlah tantangan di antaranya koinfeksi TB HIV meningkat, belum optimalnya manajemen dan kesinambungan pembiayaan program pengendalian TB.

Selain itu ada juga peningkatan jumlah penyakit degeneratif, seperti gangguan imunitas, diabetes, perokok, dan sebagainya.

Sementara itu,  Provinsi Sumatera Utara berada di peringkat empat terkecil kasus TB dari 33 provinsi. Peringkat itu berdasarkan jumlah kasus yang ditemukan (insiden rate).

“Angka penemuan dan penyembuhan kasus TB di Sumut juga di atas angka nasional,” sebut Kepala Dinas Kesehatan Sumut, Candra Syafei.

Hal itu dikarenakan adanya peran aktif semua pihak dalam penemuan kasus TB. Hanya saja yang perlu dikurangi yaitu error rate (tingkat kesalahan) seperti didapat positif TB tapi tidak positif.

Begitupun, dia mengharapkan agar adanya peningkatan bantuan luar negeri seperti dari Global Fund, juga dari APBN, APBD kab/kota. Juga peran serta masyarakat untuk penanggulangan TB.

Tidak hanya itu, Candra juga mengimbau pentingnya peran serta semua pihak dalam melakukan pengawasan minum obat (PMO) bagi penderita TB.

“Karena penyakit TB merupakan penyakit spesifik yang memerlukan waktu 6 bulan untuk penyembuhannya. Kalau tidak, penyakit tersebut bisa dua tahun masa regimennya atau menjadi multi drug resisten, baru selesai pengobatannya,” ungkap Candra.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Sumut, Sukarni   menambahkan, bila penyakit TB sudah MDR maka biaya yang dibutuhkan akan semakin besar seperti untuk obat-obatan. Walaupun obat anti TB (OAT) merupakan bantuan dari pusat.

Namun, katanya, belum semua rumah sakit dalam menanggulangi penyakit TB ini menggunakan strategi DOTS (Directly Observe Treatment Short Course).  “Dari 179 RS pemerintah dan swasta di Sumut, baru 69 yang melaporkan memakai strategi DOTS dalam penanggulangan TB,” jelasnya.

Menurutnya, hal itu kemungkinan dikarenakan komitmen pimpinan dan tenaga medis rumah sakit yang kurang. Merasa belum dilatih, padahal DOTS itu program standar untuk pengobatan.

Dia merasa khawatir, rumah sakit yang mengobati TB tidak memakai strategi DOTS akan melakukan pemeriksaan tidak sesuai standar. Hasilnya juga tidak standar, apalagi tanpa pengawasan minum obat (PMO). Akibatnya, bisa menimbulkan multi drugs resisten (MDR). “Kalau sudah MDR, pengobatannya bisa sampai dua tahun dan biaya obatnya juga mahal,” jelas Sukarni.

Di lain pihak, katanya, tidak ada kendala yang berarti dalam penanggulangan TB di Sumatera Utara. Baik obat anti TB (OAT) maupun reagensia. “Bahkan, kabupaten/kota di Sumut sudah ada stok obat dan reagensia untuk kebutuhan selama dua tahun ke depan,” katanya.

Untuk itu, lanjutnya, kabupaten/kota tidak perlu menganggarkan pembelian obat dan reagensia. “Anggaran diplotkan ke penyuluhan dan operasional saja,” jelasnya.

Editor: ANGGRAINI LUBIS

Travel Notices - CDC Travelers' Health

MANTAN-MANTAN KEPALA KKP MEDAN