SELAMAT DATANG Dr. JEFRI SITORUS, M.Kes semoga sukses memimpin KKP Kelas I Medan------------------------ Kami Mengabdikan diri Bagi Nusa dan Bangsa untuk memutus mata rantai penularan penyakit Antar Negara di Pintu Masuk Negara (Pelabuhan Laut, Bandar Udara dan Pos Lintas Batas Darat=PLBD) ------

Disease Outbreak News

Tuesday, May 22, 2012

RI 4 besar penderita TBC

JAKARTA - Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Trihono menegaskan jika penyakit tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merajalela di Indonesia. Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang kasus TB nomor 4 di dunia setelah India, China dan Afrika Selatan. Diperkirakan, ada 430 ribu kasus TB baru dan 169 orang di antaranya meninggal setiap hari.

"Kita harus akui bahwa hingga saat ini penyakit TB masih sangat merajalela karena masih menjadi penyebab kematian nomor dua setelah stroke, dan bahkan untuk Indonesia bagian timur saat ini sudah menjadi nomor satu," ujarnya,  hari ini.
join_facebookjoin_twitter

Menurutnya, saat ini sebenarnya TB menyebar secara merata di seluruh wilayah. Namun, kondisi yang paling memprihatinkan adalah di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Papua, Maluku, NTT, dan NTB.

Kondisi ini memprihatinkan karena ada hubungannya dengan faktor kemiskinan, perilaku hidup sehat, dan sebagainya. Namun, ada tren baru sekarang yakni koinfeksi TB yang sangat signifikan. Biasanya koinfeksi yang dimaksud adalah HIV AIDS, TB multidrug, dan penyakit degeneratif lainnya.

"Kasusnya sama yakni, koinfeksi tersebut terbanyak berada di Indonesia timur dimana ada penyakit lain, maka 90 persen pasti terinfeksi TB," ujarnya.

Pemerintah sendiri sudah menggelontorkan dana sebesar Rp2 triliun untuk penanggulangan TB di seluruh Indonesia. Namun, upaya penanggulangan tersebut menemui sejumlah tantangan di antaranya koinfeksi TB HIV meningkat, belum optimalnya manajemen dan kesinambungan pembiayaan program pengendalian TB.

Selain itu ada juga peningkatan jumlah penyakit degeneratif, seperti gangguan imunitas, diabetes, perokok, dan sebagainya.

Sementara itu,  Provinsi Sumatera Utara berada di peringkat empat terkecil kasus TB dari 33 provinsi. Peringkat itu berdasarkan jumlah kasus yang ditemukan (insiden rate).

“Angka penemuan dan penyembuhan kasus TB di Sumut juga di atas angka nasional,” sebut Kepala Dinas Kesehatan Sumut, Candra Syafei.

Hal itu dikarenakan adanya peran aktif semua pihak dalam penemuan kasus TB. Hanya saja yang perlu dikurangi yaitu error rate (tingkat kesalahan) seperti didapat positif TB tapi tidak positif.

Begitupun, dia mengharapkan agar adanya peningkatan bantuan luar negeri seperti dari Global Fund, juga dari APBN, APBD kab/kota. Juga peran serta masyarakat untuk penanggulangan TB.

Tidak hanya itu, Candra juga mengimbau pentingnya peran serta semua pihak dalam melakukan pengawasan minum obat (PMO) bagi penderita TB.

“Karena penyakit TB merupakan penyakit spesifik yang memerlukan waktu 6 bulan untuk penyembuhannya. Kalau tidak, penyakit tersebut bisa dua tahun masa regimennya atau menjadi multi drug resisten, baru selesai pengobatannya,” ungkap Candra.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Sumut, Sukarni   menambahkan, bila penyakit TB sudah MDR maka biaya yang dibutuhkan akan semakin besar seperti untuk obat-obatan. Walaupun obat anti TB (OAT) merupakan bantuan dari pusat.

Namun, katanya, belum semua rumah sakit dalam menanggulangi penyakit TB ini menggunakan strategi DOTS (Directly Observe Treatment Short Course).  “Dari 179 RS pemerintah dan swasta di Sumut, baru 69 yang melaporkan memakai strategi DOTS dalam penanggulangan TB,” jelasnya.

Menurutnya, hal itu kemungkinan dikarenakan komitmen pimpinan dan tenaga medis rumah sakit yang kurang. Merasa belum dilatih, padahal DOTS itu program standar untuk pengobatan.

Dia merasa khawatir, rumah sakit yang mengobati TB tidak memakai strategi DOTS akan melakukan pemeriksaan tidak sesuai standar. Hasilnya juga tidak standar, apalagi tanpa pengawasan minum obat (PMO). Akibatnya, bisa menimbulkan multi drugs resisten (MDR). “Kalau sudah MDR, pengobatannya bisa sampai dua tahun dan biaya obatnya juga mahal,” jelas Sukarni.

Di lain pihak, katanya, tidak ada kendala yang berarti dalam penanggulangan TB di Sumatera Utara. Baik obat anti TB (OAT) maupun reagensia. “Bahkan, kabupaten/kota di Sumut sudah ada stok obat dan reagensia untuk kebutuhan selama dua tahun ke depan,” katanya.

Untuk itu, lanjutnya, kabupaten/kota tidak perlu menganggarkan pembelian obat dan reagensia. “Anggaran diplotkan ke penyuluhan dan operasional saja,” jelasnya.

Editor: ANGGRAINI LUBIS

Travel Notices - CDC Travelers' Health

MANTAN-MANTAN KEPALA KKP MEDAN