Seputar penderita penyakit menular mengikuti shalat berjamaah
Stabat Rabu, 26 Maret 2008 00:55 WIB | |||
Sebaiknya Lakukan Pendekatan Persuasif |
Sejumlah ustadz, Selasa (25/3) memberikan tanggapan seputar perlu tidaknya penderita penyakit menular, seperti penyakit tuberkulosis (TB), mengikuti shalat berjamaah. Tanggapan mereka bervariasi antara tidak adanya larangan dalam Al Quran dan Hadis dengan upaya mencegah penularan.
Ustadz HM Sofyan LC, MA, salah seorang Dosen IAIN Medan mengatakan, penderita penyakit menular boleh saja mengikuti shalat berjamaah meskipun ada anjuran dari dokter bahwa yang bersangkutan tidak boleh berada di keramaian.
Larangan bagi penderita penyakit menular untuk melakukan shalat berjamaah tidak ada dalam Al Quran maupun Hadist Rasul, sebab permasalahan di atas sama dengan ibadah haji, dimana setiap orang boleh melaksanakannya asal memiliki kemampuan. Namun penderita harus memahami kondisi dan situasi.
Secara terpisah Ustadz Ramsah AR dari Langkat, berbicara tentang perlunya penderita penyakit menular dikarantina. Hadist Bukhari Muslim menyebutkan, orang yang menderita suatu penyakit menular harus menghindari keramaian untuk mencegah penularan.
Dengan kata lain, pada zaman Rasul dahulu, seseorang yang dimaksud harus dikarantina sesuai waktu ditentukan. Kesimpulannya, shalat berjamaah perlu dihindarkan sebagai upaya mencegah penularan. Dikatakan, secara umum orang yang menderita penyakit menular, apalagi sudah ada surat keterangan dari dokter, sebaiknya dipastikan tidak keluar rumah.
Upaya persuasif
Sekretaris MUI Deli Serdang, H. Akhiruddin, LC, menyatakan terlalu dini melarang penderita penyakit menular, dalam hal ini penyakit TBC, untuk mengikuti shalat berjamaah. Yang harus dipastikan adalah sedahsyat apa penularan TBC lewat pernafasan, ujarnya.
Akhiruddin mengharapkan, sebaiknya para insan kesehatan segera memberikan obat yang dapat meminimalisasi penularan lewat pernafasan. Sehingga tidak terkesan bahwa penderita TBC diposisikan sebagai orang pinggiran dalam rangka pemenuhan hak ibadah shalatnya dalam berjamaah maupun ibadah primadona.
"Berikan alat yang dapat mengurangi penularan lewat pernafasan," kata Akhiruddin seraya menambahkan, sungguh sangat tidak etis bila ada pelarangan shalat berjamaah sebelum ada upaya-upaya medis secara maksimal dilakukan.
Jika segala upaya optimal sudah dilakukan, namun tidak juga dapat meminimalisasi penularan lewat pernafasan, bukan berarti keinginannya mengikuti shalat berjamaah langsung dilarang, tapi perlu pengkondisian fisikologi bagi para penderita sehingga mereka siap untuk menerima kondisi ini.
Tujuannya, agar penderita TBC tahu akan kondisi kesehatan mereka yang bisa menularkan bagi saudara-saudaranya, sehingga para penderita merespon firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Al Baqarah Ayat 195: "Dan janganlah kamu lemparkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah suka orang yang berbuat baik". Dan mereka juga mendengar nasehat Nabi dalam Haditsnya: "Sekali-kali kamu adalah orang yang bermanfa'at bagi manusia lain". (HR. Muslim).
Perlu pendekatan persuasif kepada mereka (penderita TBC), sehingga secara moral mereka menentukan diri mereka sendiri sehingga muncul kesadaran dalam memahami yang akhirnya mereka rela dan ikhlas memposisikan diri mereka sendiri.
Pelarangan secara total akan terkesan tidak manusiawi, kata Akhiruddin. Siapa yang ingin menderita TBC? Siapa yang ingin dan suka menularkan penyakit? "Sungguh tidak adil bila mereka dikebiri hak ibadah shalat berjamaahnya."
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2008 menyebutkan jumlah kematian akibat penyakit ini mencapai 88.113 orang. Tahun lalu di Sumut tercatat 13219 penderita TB dan 264 orang diantaranya meninggal dunia.
Data diatas kemudian menimbulkan pertanyaan bagi orang awam apakah penderita penyakit menular yang mematikan, seperti TB dan flu burung, perlu mengikuti shalat berjamaah karena berpotensi menularkan penyakitnya pada jamaah yang sehat.
Dalam hubungan ini, seperti dimuat kemarin, Ketua Komisi Fatwa MUI Sumut Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti MA, menjawab pertanyaan Waspada menegaskan, Komisi Fatwa MUI belum bisa mengeluarkan fatwa tentang larangan bagi penderita penyakit menular untuk mengikuti shalat berjamaah sebelum dilakukan penelitian lebih dulu tentang proses dan dampak dari penyakit bisa menular pada orang lain.
Ramlan mengharapkan, dokter ahli menjelaskan secara rinci proses penyebarannya dan bagaimana dampak serta tingkat kematian akibat TB sehingga dapat diketahui sejauh mana tingkat kedaruratannya.
Di dalam literatur Islam memang tidak ada dinyatakan bahwa orang sakit atau terkena TB dilarang ikut shalat berjamaah, kata Dr H. Ramli Wahid MA, anggota Komisi Fatwa MUI. Prinsipnya, tambah Ramli, penderita TB boleh ikut shalat berjamaah sepanjang tidak ada larangan dokter ahli. Namun demikian, sebaiknya yang bersangkutan menghindari diri dari jamaah agar tidak menular kepada orang lain (a38/a01/a06)
Sumber :
Ustadz HM Sofyan LC, MA, salah seorang Dosen IAIN Medan mengatakan, penderita penyakit menular boleh saja mengikuti shalat berjamaah meskipun ada anjuran dari dokter bahwa yang bersangkutan tidak boleh berada di keramaian.
Larangan bagi penderita penyakit menular untuk melakukan shalat berjamaah tidak ada dalam Al Quran maupun Hadist Rasul, sebab permasalahan di atas sama dengan ibadah haji, dimana setiap orang boleh melaksanakannya asal memiliki kemampuan. Namun penderita harus memahami kondisi dan situasi.
Secara terpisah Ustadz Ramsah AR dari Langkat, berbicara tentang perlunya penderita penyakit menular dikarantina. Hadist Bukhari Muslim menyebutkan, orang yang menderita suatu penyakit menular harus menghindari keramaian untuk mencegah penularan.
Dengan kata lain, pada zaman Rasul dahulu, seseorang yang dimaksud harus dikarantina sesuai waktu ditentukan. Kesimpulannya, shalat berjamaah perlu dihindarkan sebagai upaya mencegah penularan. Dikatakan, secara umum orang yang menderita penyakit menular, apalagi sudah ada surat keterangan dari dokter, sebaiknya dipastikan tidak keluar rumah.
Upaya persuasif
Sekretaris MUI Deli Serdang, H. Akhiruddin, LC, menyatakan terlalu dini melarang penderita penyakit menular, dalam hal ini penyakit TBC, untuk mengikuti shalat berjamaah. Yang harus dipastikan adalah sedahsyat apa penularan TBC lewat pernafasan, ujarnya.
Akhiruddin mengharapkan, sebaiknya para insan kesehatan segera memberikan obat yang dapat meminimalisasi penularan lewat pernafasan. Sehingga tidak terkesan bahwa penderita TBC diposisikan sebagai orang pinggiran dalam rangka pemenuhan hak ibadah shalatnya dalam berjamaah maupun ibadah primadona.
"Berikan alat yang dapat mengurangi penularan lewat pernafasan," kata Akhiruddin seraya menambahkan, sungguh sangat tidak etis bila ada pelarangan shalat berjamaah sebelum ada upaya-upaya medis secara maksimal dilakukan.
Jika segala upaya optimal sudah dilakukan, namun tidak juga dapat meminimalisasi penularan lewat pernafasan, bukan berarti keinginannya mengikuti shalat berjamaah langsung dilarang, tapi perlu pengkondisian fisikologi bagi para penderita sehingga mereka siap untuk menerima kondisi ini.
Tujuannya, agar penderita TBC tahu akan kondisi kesehatan mereka yang bisa menularkan bagi saudara-saudaranya, sehingga para penderita merespon firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Al Baqarah Ayat 195: "Dan janganlah kamu lemparkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah suka orang yang berbuat baik". Dan mereka juga mendengar nasehat Nabi dalam Haditsnya: "Sekali-kali kamu adalah orang yang bermanfa'at bagi manusia lain". (HR. Muslim).
Perlu pendekatan persuasif kepada mereka (penderita TBC), sehingga secara moral mereka menentukan diri mereka sendiri sehingga muncul kesadaran dalam memahami yang akhirnya mereka rela dan ikhlas memposisikan diri mereka sendiri.
Pelarangan secara total akan terkesan tidak manusiawi, kata Akhiruddin. Siapa yang ingin menderita TBC? Siapa yang ingin dan suka menularkan penyakit? "Sungguh tidak adil bila mereka dikebiri hak ibadah shalat berjamaahnya."
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2008 menyebutkan jumlah kematian akibat penyakit ini mencapai 88.113 orang. Tahun lalu di Sumut tercatat 13219 penderita TB dan 264 orang diantaranya meninggal dunia.
Data diatas kemudian menimbulkan pertanyaan bagi orang awam apakah penderita penyakit menular yang mematikan, seperti TB dan flu burung, perlu mengikuti shalat berjamaah karena berpotensi menularkan penyakitnya pada jamaah yang sehat.
Dalam hubungan ini, seperti dimuat kemarin, Ketua Komisi Fatwa MUI Sumut Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti MA, menjawab pertanyaan Waspada menegaskan, Komisi Fatwa MUI belum bisa mengeluarkan fatwa tentang larangan bagi penderita penyakit menular untuk mengikuti shalat berjamaah sebelum dilakukan penelitian lebih dulu tentang proses dan dampak dari penyakit bisa menular pada orang lain.
Ramlan mengharapkan, dokter ahli menjelaskan secara rinci proses penyebarannya dan bagaimana dampak serta tingkat kematian akibat TB sehingga dapat diketahui sejauh mana tingkat kedaruratannya.
Di dalam literatur Islam memang tidak ada dinyatakan bahwa orang sakit atau terkena TB dilarang ikut shalat berjamaah, kata Dr H. Ramli Wahid MA, anggota Komisi Fatwa MUI. Prinsipnya, tambah Ramli, penderita TB boleh ikut shalat berjamaah sepanjang tidak ada larangan dokter ahli. Namun demikian, sebaiknya yang bersangkutan menghindari diri dari jamaah agar tidak menular kepada orang lain (a38/a01/a06)
Sumber :
http://www.waspada.co.id/Berita/Sumut/Sebaiknya-Lakukan-Pendekatan-Persuasif.html