SELAMAT DATANG Dr. JEFRI SITORUS, M.Kes semoga sukses memimpin KKP Kelas I Medan------------------------ Kami Mengabdikan diri Bagi Nusa dan Bangsa untuk memutus mata rantai penularan penyakit Antar Negara di Pintu Masuk Negara (Pelabuhan Laut, Bandar Udara dan Pos Lintas Batas Darat=PLBD) ------

Disease Outbreak News

Thursday, March 27, 2008

Penyebaran virus HIV /AIDS : Sudah 200 Ribu Orang Terkena Virus Mematikan itu

Penyebaran virus HIV/AIDS kini sangat mengkhawatirkan, karena sudah menyebar di 33 provinsi di Indonesia. Paling dominan penularannya melalui hubungan seks bebas dan narkoba suntik, terutama di wilayah Pulau Jawa. "Penanganan HIV/AIDS oleh pemerintah pusat sudah banyak dan sangat responsif. Tapi pemerintah daerah belum menunjukkan komitmennya secara maksimal," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional Dr Nafsiah Mboi di Serang, Banten, Jumat (14/3).

Ditemui di sela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KPA se-Indonesia di Serang, Banten, Nafsiah mengatakan, hingga saat ini diperkirakan lebih dari 200 ribu orang di Indonesia terkena virus mematikan tersebut. Sekitar tahun 2006 saja sudah ada 193 ribu orang penderita HIV/AID atau orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Uniknya, sebagian diantaranya masih belum mengetahui kalau dirinya sudah terkena penyakit tersebut.

Penderita HIV/AIDS, menimpa kalangan remaja berusia 20 sampai 29 tahun. Sedangkan penularannya paling dominan melalui narkoba yang menggunakan jarum suntik dan seks bebas. Bahkan, kecenderungan ke depan penyebaran virus tersebut akan terus bertambah, terutama pada kaum laki-laki yang melakukan seks bebas atau berganti-ganti pasangan.

Dalam upaya pencegahan penularan melalui narkoba suntik, kata Nafisah, ada beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jatim, Yogyakarta, Bali, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara sudah melakukan pelayanan Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) --- memberikan Metadon sejenis narkoba sintesis kelas dua dengan sekali suntik dalam sehari, namun tidak menyebabkan kecanduan. Tujuannya untuk melakukan terapi bertahap bagi pengguna narkoba suntik tersebut.

Ketua Kordinator Wilayah KPA Jawa-Bali, Inang Winarso mengatakan, dari 220 ribu orang pengguna narkoba suntik, 46 ribu orang diantaranya sudah masuk dalam program pencegahan melalui PTRM. Seperti di Jawa Barat, dari 80 persen penderita HIV/ AIDS yang menggunkan narkoba suntik, sudah menurun menjadi 20 persen.

Di Provinsi Banten, kata Winarso, ada sekitar 6.950 orang tekena virus HIV, namun baru sekitar 1000 orang yang terungkap. Dengan demikian, masih ada 5.500 orang yang belum diketahui termasuk ribuan yang menggunakan narkoba suntik. Sedangkan di seluruh Indonesia, ada 24 titik lokasi untuk program PTRM. Paling banyak berada di DKI Jakarta, 11 lokasi, Jawa Barat tiga dan di Banten belum ada. (ANT/BEC)

Sumber : http://www.kompas.co.id/read.php?cnt=.xml.2008.03.15.00134131&channel=1&mn=2&idx=97

Virus Flu Burung Terancam Resisten di Indonesia

27/03/2008 11:22 WIB

Gede Suardana - detikcom

Badung - Oseltamivir atau tamiflu merupakan obat flu burung yang selama ini digunakan baik di Indonesia maupun negara-negara lain. Namun tamiflu ini sudah resisten di Vietnam dan Hongkong. Di Indonesia, virus flu burung terancam resisten terhadap obat ini.

"Di Indonesia kita identifikasi adanya perubahan. Dari sudut molekular kalau kita teliti memang ada sedikit perubahan dari aslinya. Hingga itu mengarah kepada kemungkinan adanya resisten," kata Deputi Bidang Pengembangan Sistem Iptek Nasional Kementerian Negara Riset dan Teknologi Amin Soebandrio.

Hal itu disampaikan dia dalam pertemuan tahunan soal flu burung ke-enam di Hotel Wastin Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (27/3/2008).

Menurut Amin, resisten terjadi karena penggunaan tamiflu yang banyak sekali dan dosisnya yang kurang. Karenanya, tidak bisa membunuh virus malah menjadikan virusnya terlatih sehingga tambah kuat.

"Untuk itu harus kita cegah. Penggunaan tamiflu harus kita kontrol," ujarnya.

Amin mengatakan, ditemukan juga beberapa perubahan genetik ke mutasi. Dari uji coba obatnya belum ada bukti resisten. Tetapi dilihat dari rangkaian genetiknya virus H5N1 sudah mengarah pada kemungkinan terjadinya resistennya. ( ziz / nvt )

Sumber :

http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/03/tgl/27/time/112256/idnews/914180/idkanal/10

Angka Putus Berobat Penderita Penyakit menular Tuberkulosis Masih Tinggi

Kamis, 27 Maret 2008 | 00:51 WIB

Jakarta, Kompas - Strategi DOTS—pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung—pada penderita tuberkulosis belum banyak diterapkan di berbagai rumah sakit di Tanah Air. Akibatnya, secara nasional angka putus berobat pasien TB di rumah sakit mencapai 40 persen. Padahal, pengobatan yang tidak tuntas meningkatkan risiko resistensi kuman itu.

Menurut Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Farid W Husain dalam sambutan tertulis pada peresmian ruang TB DOTS anak RS Persahabatan, Selasa (26/3) di Jakarta, baru 30 persen rumah sakit di Indonesia menerapkan DOTS.

RS Persahabatan menerapkan strategi itu dan setiap tahun melayani sekira 3.000 penderita baru TB. Menurut Ketua Tim DOTS RS Persahabatan Erlina Burhan, semula angka putus berobat di RS itu 36 persen. Setelah strategi DOTS diterapkan, angka itu menjadi 3,9 persen. Hal ini tercapai melalui diskusi kelompok dengan penderita dan keluarganya, serta membangun jejaring kerja dengan puskesmas.

Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), angka kasus TB di Indonesia berada di urutan ketiga tertinggi di dunia setelah India dan China, dengan jumlah penderita sekira 539.000 dan meninggal 101.000 per tahun. Indonesia, China, dan India memberi kontribusi 50 persen dari seluruh kasus TB di dunia. Pihak WHO menyatakan, strategi DOTS sebagai intervensi kesehatan paling efektif dengan melakukan integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar.

”Permasalahan yang memengaruhi pelaksanaan strategi pengendalian TB saat ini antara lain meningkatnya jumlah warga miskin, komitmen politik dan pendanaan tidak memadai, pelayanan kurang terakses masyarakat,” kata Direktur Bina Penunjang Medik Depkes Abdul Rival.

Ini diperparah oleh meningkatnya kasus HIV/AIDS, koinfeksi TB, serta kekebalan ganda kuman penyakit itu terhadap obat anti-TB (multidrug resistance).

Terpantau 41 persen

Sementara itu, Dinas Kesehatan Lampung memastikan 4.522 orang (41 persen) dari perkiraan total 11.174 penderita TB ditemukan dan disembuhkan. Kini Dinas Kesehatan Lampung menargetkan menemukan 11.000 penderita dan membantu menekan penyebaran TB dan membantu menyembuhkan tahun ini.

Seksi Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Lampung Elvi Suryati, Rabu, mengatakan, rendahnya temuan akibat rendahnya kepedulian masyarakat mengawasi dan mengobati penderita TB.

Menurut Elvi, upaya menemukan khususnya penderita basil tahan asam (BTA) positif yang bisa menularkan kuman mycrobacterium tuberculosis lewat dahak harus terus dilakukan. Berdasar perhitungan jumlah penderita TB per 100.000 penduduk, jumlah penderita di Lampung lebih besar daripada nasional.

Di Lampung, setiap 100.000 penduduk ditemukan 160 penderita BTA positif. Secara nasional ditemukan 107 penderita BTA positif. (EVY/HLN)

Sumber : http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.27.00511460&channel=2&mn=156&idx=156

Wednesday, March 26, 2008

Seputar penderita penyakit menular mengikuti shalat berjamaah

Stabat Rabu, 26 Maret 2008 00:55 WIB
Sebaiknya Lakukan Pendekatan Persuasif PDF Cetak E-mail


Sejumlah ustadz, Selasa (25/3) memberikan tanggapan seputar perlu tidaknya penderita penyakit menular, seperti penyakit tuberkulosis (TB), mengikuti shalat berjamaah. Tanggapan mereka bervariasi antara tidak adanya larangan dalam Al Quran dan Hadis dengan upaya mencegah penularan.

Ustadz HM Sofyan LC, MA, salah seorang Dosen IAIN Medan mengatakan, penderita penyakit menular boleh saja mengikuti shalat berjamaah meskipun ada anjuran dari dokter bahwa yang bersangkutan tidak boleh berada di keramaian.

Larangan bagi penderita penyakit menular untuk melakukan shalat berjamaah tidak ada dalam Al Quran maupun Hadist Rasul, sebab permasalahan di atas sama dengan ibadah haji, dimana setiap orang boleh melaksanakannya asal memiliki kemampuan. Namun penderita harus memahami kondisi dan situasi.

Secara terpisah Ustadz Ramsah AR dari Langkat, berbicara tentang perlunya penderita penyakit menular dikarantina. Hadist Bukhari Muslim menyebutkan, orang yang menderita suatu penyakit menular harus menghindari keramaian untuk mencegah penularan.

Dengan kata lain, pada zaman Rasul dahulu, seseorang yang dimaksud harus dikarantina sesuai waktu ditentukan. Kesimpulannya, shalat berjamaah perlu dihindarkan sebagai upaya mencegah penularan. Dikatakan, secara umum orang yang menderita penyakit menular, apalagi sudah ada surat keterangan dari dokter, sebaiknya dipastikan tidak keluar rumah.

Upaya persuasif
Sekretaris MUI Deli Serdang, H. Akhiruddin, LC, menyatakan terlalu dini melarang penderita penyakit menular, dalam hal ini penyakit TBC, untuk mengikuti shalat berjamaah. Yang harus dipastikan adalah sedahsyat apa penularan TBC lewat pernafasan, ujarnya.

Akhiruddin mengharapkan, sebaiknya para insan kesehatan segera memberikan obat yang dapat meminimalisasi penularan lewat pernafasan. Sehingga tidak terkesan bahwa penderita TBC diposisikan sebagai orang pinggiran dalam rangka pemenuhan hak ibadah shalatnya dalam berjamaah maupun ibadah primadona.

"Berikan alat yang dapat mengurangi penularan lewat pernafasan," kata Akhiruddin seraya menambahkan, sungguh sangat tidak etis bila ada pelarangan shalat berjamaah sebelum ada upaya-upaya medis secara maksimal dilakukan.

Jika segala upaya optimal sudah dilakukan, namun tidak juga dapat meminimalisasi penularan lewat pernafasan, bukan berarti keinginannya mengikuti shalat berjamaah langsung dilarang, tapi perlu pengkondisian fisikologi bagi para penderita sehingga mereka siap untuk menerima kondisi ini.

Tujuannya, agar penderita TBC tahu akan kondisi kesehatan mereka yang bisa menularkan bagi saudara-saudaranya, sehingga para penderita merespon firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Al Baqarah Ayat 195: "Dan janganlah kamu lemparkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah suka orang yang berbuat baik". Dan mereka juga mendengar nasehat Nabi dalam Haditsnya: "Sekali-kali kamu adalah orang yang bermanfa'at bagi manusia lain". (HR. Muslim).

Perlu pendekatan persuasif kepada mereka (penderita TBC), sehingga secara moral mereka menentukan diri mereka sendiri sehingga muncul kesadaran dalam memahami yang akhirnya mereka rela dan ikhlas memposisikan diri mereka sendiri.

Pelarangan secara total akan terkesan tidak manusiawi, kata Akhiruddin. Siapa yang ingin menderita TBC? Siapa yang ingin dan suka menularkan penyakit? "Sungguh tidak adil bila mereka dikebiri hak ibadah shalat berjamaahnya."

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2008 menyebutkan jumlah kematian akibat penyakit ini mencapai 88.113 orang. Tahun lalu di Sumut tercatat 13219 penderita TB dan 264 orang diantaranya meninggal dunia.

Data diatas kemudian menimbulkan pertanyaan bagi orang awam apakah penderita penyakit menular yang mematikan, seperti TB dan flu burung, perlu mengikuti shalat berjamaah karena berpotensi menularkan penyakitnya pada jamaah yang sehat.

Dalam hubungan ini, seperti dimuat kemarin, Ketua Komisi Fatwa MUI Sumut Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti MA, menjawab pertanyaan Waspada menegaskan, Komisi Fatwa MUI belum bisa mengeluarkan fatwa tentang larangan bagi penderita penyakit menular untuk mengikuti shalat berjamaah sebelum dilakukan penelitian lebih dulu tentang proses dan dampak dari penyakit bisa menular pada orang lain.

Ramlan mengharapkan, dokter ahli menjelaskan secara rinci proses penyebarannya dan bagaimana dampak serta tingkat kematian akibat TB sehingga dapat diketahui sejauh mana tingkat kedaruratannya.

Di dalam literatur Islam memang tidak ada dinyatakan bahwa orang sakit atau terkena TB dilarang ikut shalat berjamaah, kata Dr H. Ramli Wahid MA, anggota Komisi Fatwa MUI. Prinsipnya, tambah Ramli, penderita TB boleh ikut shalat berjamaah sepanjang tidak ada larangan dokter ahli. Namun demikian, sebaiknya yang bersangkutan menghindari diri dari jamaah agar tidak menular kepada orang lain (a38/a01/a06)

Sumber :

http://www.waspada.co.id/Berita/Sumut/Sebaiknya-Lakukan-Pendekatan-Persuasif.html


MUTASI VIRUS AFIAN INFLUENZA (FLU BURUNG)

Perlu Pemetaan "Strain" Virus

Rabu, 26 Maret 2008 | 00:52 WIB

Jakarta, Kompas - Perubahan genetik virus flu burung (AI) pada unggas telah terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air. Hal ini mengakibatkan vaksin yang digunakan pada unggas tidak lagi efektif. Untuk itu, perubahan genetik virus itu harus segera dipetakan untuk membuat vaksin dengan strain yang sama.

”Harus dianalisis, apakah virus jadi lebih ganas atau sebaliknya, virus jadi endemis tetapi tidak lagi infektif pada unggas,” kata anggota panel ahli Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI), drh dr Mangku Sitepu, Selasa (25/3) di Jakarta.

Menurut laporan FAO, virus AI pada unggas bisa bermutasi dan diketahui ada beberapa kelompok genetik yang semuanya virus unggas. Kelompok A menyebar di Jawa, Bali, dan Sulawesi, kelompok B di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta kelompok C menyebar di Jawa, Bali, dan Sumatera.

Ketiga kelompok virus ini berasal dari satu cabang kluster virus (clade). Virus yang menular ke manusia umumnya kelompok A, kecuali di Karo dari kelompok C. ”Kemungkinan ada kelompok lain (D, E, dan F) juga telah terdeteksi, termasuk dari clade lain, tetapi belum diketahui persebarannya,” kata Ketua Pelaksana Harian Komnas FBPI Bayu Krisnamurthi.

Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian Musni Suatmoko menambahkan, hasil temuan Balai Penelitian Veteriner Bogor dan Deptan memperlihatkan ada perubahan struktur virus di sejumlah daerah seperti Sukabumi, Purwakarta, Subang, Tangerang, dan sebagian wilayah DKI Jakarta. Tingkat kematian unggas karena AI di wilayah itu turun hingga 20 persen.

Akibat perubahan genetik itu, ”Vaksin flu burung jenis H5N1, H5N2, dan H5N9 yang selama ini banyak digunakan kemungkinan tidak lagi efektif kalau dipakai di daerah-daerah itu,” kata Musni menegaskan.

Untuk itu, vaksin homolog dari strain virus yang berubah itu perlu dikembangkan. Saat ini pihaknya sedang membuat peta genetik dari strain virus yang bermutasi. Hasilnya digunakan untuk menentukan mana yang akan jadi bahan vaksin baru. Selanjutnya vaksin baru itu akan digunakan untuk vaksinasi unggas di daerah-daerah tempat mutasi virus flu burung ditemukan.

Bermutasi cepat

Sementara itu, Mangku Sitepu meragukan efektivitas pembuatan vaksin baru itu karena virus flu burung pada unggas terus bermutasi dengan cepat. Pihaknya merekomendasikan agar vaksin yang digunakan berasal dari strain Indonesia sehingga tingkat kecocokannya tinggi.

”Yang juga perlu dikaji adalah apakah mutasi virus itu menunjukkan virus lebih ganas atau sebaliknya,” ujar Mangku. Di sejumlah perusahaan peternakan unggas skala besar dan menengah ditemukan adanya kasus unggas terinfeksi flu burung tanpa ada gejala klinis penyakit, tetapi tingkat produktivitasnya menurun.

Sementara itu, penelitian di Vietnam dan Thailand, dua negara di kawasan Asia Tenggara dengan kejadian luar biasa flu burung, menyebutkan, ledakan flu burung tidak terkait langsung dengan jumlah ayam, tetapi terkait dengan populasi itik dan persawahan padi.

Penelitian dilakukan pada tiga kali ledakan luar biasa virus flu burung tahun 2004 dan 2005. Mereka mengkaji lima variabel, yakni kelimpahan populasi itik, populasi manusia, jumlah ayam, elevasi, dan intensitas pertanian padi.

Para peneliti menyimpulkan, pemantauan populasi itik dan penelusuran kawasan persawahan padi menggunakan satelit merupakan jalan terbaik memprediksi kemungkinan terjadinya ledakan flu burung.

”Secara esensial, virus itu bersifat patogen pada ayam dan membunuhnya sebelum akhirnya virus itu menyebar,” kata Marie Gilbert dari Free University of Brussels, Belgia, seperti dikutip kantor berita AP.

Ledakan flu burung lebih banyak terkonsentrasi di kawasan di mana padi ditanam dua-tiga kali dalam setahun—habitat penting bagi itik dan unggas air liar.

Sejak tahun 2003, virus flu burung telah membunuh lebih dari 200 jiwa. Hingga kini penularan virus H5N1 antarmanusia yang memicu pandemi global masih menjadi perdebatan. Sejauh ini sebagian besar kasus pada manusia terkait kontak mereka dengan unggas terinfeksi virus H5N1. (AP/GSA/EVY)

Sumber : http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.26.0052349&channel=2&mn=156&idx=156

Tuesday, March 25, 2008

Shalat Berjamaah Penderita Penyakit Menular

Perlu Penelitian Hukum Shalat Berjamaah Penderita Penyakit Menular

Sebaiknya Mereka Menghindar Keramaian

Medan : Selasa, 25 Maret 2008 07:15 WIB

Ketua Komisi Fatwa MUI Sumut Dr Ramlan Yusuf Rangkuti, MA menegaskan, haram bagi penderita penyakit menular seperti tuberkulosis (TB) atau lainnya shalat berjamaah jika ada larangan dokter ahli menyatakan yang bersangkutan tidak boleh lagi berkomunikasi dengan orang lain.

"Namun, untuk menyatakan sampai pada tingkat haram harus melalui penelitian sejauh mana proses dan dampak dari penyakit itu bisa menular kepada orang lain," kata Rangkuti di kantor MUI Sumut Jalan Majelis Ulama/Karakatau Medan, Senin (24/3).Dia diminta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan jumlah kematian akibat penyakit TB masih tinggi.

Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2008 menyebutkan jumlah kematian akibat penyakit ini mencapai 88.113 orang. Sementara jumlah kasus TB adalah 534.439 orang (Waspada, 24/3). Mengingat hal itu, lanjut Rangkuti, Komisi Fatwa MUI belum bisa mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi penderita TB untuk ikut shalat berjamaah. Sebelum mengetahui sejauh mana tingkat daruratnya.

Untuk itu, dokter ahli harus menguraikan secara rinci proses penyebarannya, dan bagaimana dampak serta tingkat kematian akibat TB, sehingga dapat diketahui sejauh mana pula tingkat kedaruratannya, kata Rangkuti. "Dalam Islam, shalat berjamaah hukumnya adalah sunat muakat dan fardhu kifayah, kecuali shalat Jumat adalah wajib.

Namun, jika dalam keadaan darurat sebagai mana ditentukan agama, yang bersangkutan gugur kewajibannya termasuk shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat zuhur." Islam, lanjutnya, menganjurkan kita wajib berusaha menghindar dari penyakit menular. Umpamanya, jika di suatu kampung ada penyakit menular jangan pergi agar tidak menyebar. Sebaliknya, yang dari luar jangan masuk ke kampung itu, sebut Rangkuti.

Khalifah Umar Ibnu Khatab ra menjawab pertanyaan seseorang tentang penyangkit menular yang Dia juga ikut menghindari diri, kata Rangkuti, Umar menyatakan, lari dari takdir yang satu masuk ke takdir yang lain. Artinya, ke manapun kita lari tetap berada dalam takdir Allah Swt, tapi bukan dalam lingkaran penyakit menular.

Rangkuti juga menyebutkan, ada dua aliran dalam pandangan Islam menghadapi penyakit menular ini. Pertama, aliran Jabariyah yakni, mereka yang sama sekali menyerahkan diri kepada Allah Swt tidak punya usaha untuk menghindar.

Aliran Jabariyah ini meyakini sepenuhnya semua itu sudah menjadi takdir Allah Swt, sehingga ke manapun lari dan apa pun usaha yang dilakukan menjadi sia-sia dan tetap akan kena penyakit menular itu. Aliran ini juga disebut fatisme, artinya menyerah tanpa usaha.

Sedang aliran kedua adalah As Ariyah atau Allusunnah Waljamaah. Aliran ini, memahami bahwa kita memang harus menyerahkan diri semua kepada Allah Swt, tetapi wajib berusaha mengatasi masalah tersebut secara maksimal yang akhirnya juga berserah kepada Allah Swt.

Rangkuti juga menyebutkan, Komisi Fatwa MUI baru akan mengeluarkan fawat jika saja ada permohonan elemen masyarakat. Namun, hal itu bisa saja dilakukan tanpa permohonan jika dipandang perlu dan mendesak.

Sedang Dr H Ramli Abdul Wahid, MA menegaskan, tidak ditemui dalam literatur Islam orang sakit atau terkena TB dilarang ikut shalat berjamaah. Prinsipnya, kata Ramli, penderita TB boleh ikut shalat berjamaah sepanjang tidak ada larangan dokter ahli. Namun, sebaiknya yang bersangkutan menghindari diri dari jamaah agar tidak menular kepada orang lain. (m14)
(wns)

http://www.waspada.co.id/Berita/Medan/Perlu-Penelitian-Hukum-Shalat-Berjamaah-Penderita-Penyakit-Menular.html

Monday, March 24, 2008

KEMITRAAN KKP KELAS II MEDAN DENGAN POLRI

KEMITRAAN KKP KELAS II MEDAN DENGAN POLRI

Dalam rangka memenuhi undangan dari POLRI untuk menjadi salah satu pembicara pada kegiatan yang mereka selenggarakan hari Selasa tanggal 18 Maret 2008, Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Medan, Dr. H. Syahril Aritonang, MHA menyampaikan materi tentang DEMAM BERDARAH, Penyebab, Akibat dan Pencegahannya. Sesuai dengan tema Acara ‘DENGAN KEMITRAAN POLRI DAN MASYARAKAT SERTA PENGUSAHA GABION MARI KITA DUKUNG PROGRAM PEMERINTAH TENTANG PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS)’, dihadiri oleh pengusaha-pengusaha yang ada di Gabion, Perangkat Kelurahan dan beberapa stake holder yang berkepentingan di Gabion, dan masyarakat setempat. Pada kesempatan tersebut juga dilakukan pemberian sumbangan sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat yang kurang mampu.

Kepala KKP Kelas II Medan, Dr. H. Syahril Aritonang, MHA mengawali presentasenya..

Kepala KKP Kelas II Medan, Dr. H. Syahril Aritonang, MHA sedang menjelaskan tentang penyakit DBD

Dari kiri ke kanan : Wakapolres KP3 Belawan, Kapolres KP3 Belawan,

Ka. KKP Kelas II Medan, Dr. H. Syahril Aritonang, MHA, Kepala Desa

Kel. Bagan Deli Belawan, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ikan di Belawan


Sunday, March 23, 2008

Berita TBC Indonesia

23/03/2008 13:05 WIB
88 Ribu Orang Tewas Akibat TB
Iin Yumiyanti - detikcom

Jakarta - Jumlah kematian akibat penyakit tuberkulosis (TB) masih tinggi. Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2008 menyebutkan jumlah kematian akibat penyakit ini mencapai 88.113 orang. Sementara jumlah kasus TB adalah 534.439 orang.

"Angka kematian akibat TB adalah 88.113 orang atau sama dengan 38 per 100 ribu penduduk, " kata Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2ML), Departemen Kesehatan RI Dr. Tjandra Yoga Aditama dalam emailnya kepada detikcom, Minggu (23/3/2008).

Sementara data TB dunia, tahun 2008 ini tercatat 9,2 juta kasus Dari jumlah itu, 1,7 juta meninggal. Meski demikian jumlah tersebut memperlihatkan jumlah kasus TB menurun sejak 2003.

Senin (24/3/2008) besok merupakan hari TB. Tanggal 24 Maret diperingati sebagai Hari TB karena pada tanggal yang sama tahun 1882, Robert Koch mempresentasikan hasil penemuannya (berupa basil TBC) di depan Ikatan Dokter Jerman
( iy / asy )
http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/03/tgl/23/time/130525/idnews/911745/idkanal/10


21/03/2007 13:53 WIB
89,7% Penderita TBC di Indonesia Berhasil Sembuh
Chazizah Gusnita - detikcom

Jakarta - Indonesia berhasil mencapai angka 89,7 persen dalam penyembuhan penyakit TBC. Angka ini melebihi target global minimal 85 persen yang ditentukan WHO.

Menkes Siti Fadilah Supari mengatakan, nyaris seluruh provinsi menyampaikan kemajuan dalam pengobatan penderita TBC dan peningkatan angka penemuan kasus baru.

"Walaupun sudah ada peningkatan, tapi kita juga harus punya terobosan baru. Karena penyakit TBC dekat dengan kemiskinan dan masih ada 300 orang meninggal dunia per hari karena TBC," ungkap Menkes dalam jumpa pers terkait Hari TBC Sedunia 24 Maret di Gedung Depkes, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Rabu (21/3/2007).

Selama ini pemerintah masih menggunakan penyembuhan dengan sistem pemeriksaan usap tenggorokan (basil tahan asap/BTA) untuk mengetahui adanya virus TBC atau tidak.

BTA selama ini menjadi standar pengobatan dalam penanganan kasus TBC yang ditentukan WHO. Tetapi Indonesia mempunyai terobodan baru berupa active case finding.

"Selama ini kita gunakan BTA, menunggu ada orang yang terkena TBC yang datang, kemudian didiagnosis. Itu terlalu lama. Tapi sekarang kita sendiri yang aktif mencari," kata Menkes.

Terobosan baru pemerintah, kata dia, akan dipertimbangkan oleh WHO karena program penyembuhan TBC dengan BTA masih berlanjut hingga 2010.

"Mereka akan pertimbangkan soal harga, memilih mana yang cocok. Tetapi akan tetap kita coba bandingkan dengan BTA," kata dia.

Terobosan ini dikeluarkan karena selama ini WHO dianggap tidak adil kepada negara-negara berkembang dalam aturan sharing virus.

"Ada gap antara negara maju dengan negara berkembang. WHO dengan bebas menjual vaksin dan mendapat keuntungan di sini. Bukan berarti karena kita tidak punya teknologi kita jadi korban," cetusnya.
( umi / nrl )
http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/03/tgl/23/time/130525/idnews/911745/idkanal/10

Travel Notices - CDC Travelers' Health

MANTAN-MANTAN KEPALA KKP MEDAN