Gawat, Virus Flu Burung di Indonesia Sudah Bermutasi
Jakarta, Virus Avian Influenza H5N1 (flu burung) telah ada di di Indonesia lebih dari lima tahun. Belum selesai penanganannya, sudah muncul virus baru H1N1 (flu babi) yang menimbulkan pandemik.
Alhasil, Avian Influenza mulai terlupakan. Padahal tanpa banyak orang tahu, telah terjadi mutasi pada virus flu burung di Indonesia. Menariknya adalah virus yang mengalami mutasi berasal dari unggas yang rutin diberi vaksin.
Dengan adanya mutasi ini ditakutkan efek dan penanganannya harus berbeda lagi pada manusia. Penanganan vaksin sebelumnya sudah terbukti tidak mempan lagi pada unggas.
Hal tersebut dipaparkan oleh drh. Ni Luh Putu Indi Dharmayanti, MSi dalam sidang disertasinya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ketika ditemui detikhealth, Selasa (22/12/2009), di FKUI Salemba Jakarta.
Menurut dokter hewan yang meraih gelar doktornya dengan IPK 3,97 tersebut, jika Indonesia masih menggunakan strategi vaksin lama untuk menangani flu burung maka harus ada evaluasi dan up date vaksin tersebut secara rutin minimal setiap 2 tahun sekali.
"Kebijakan pemerintah harus dievaluasi terutama di sektor peternakan karena dari sektor itulah virus berasal dan bermutasi," kata doktor kelahiran Banyuwangi 1972. Indi saat ini bekerja sebagai peneliti muda di Departemen Virologi Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.
Dalam studinya, Indi mengisolasi 20 virus Avian Influenza (AI) subtipe H5N1 asal unggas yang berasal dari tahun 2003 hingga 2008, baik yang sudah divaksin maupun yang belum divaksin.
Hasil isolasi tersebut menunjukkan bahwa unggas yang divaksin justru mengalami mutasi sekitar 6-7 persen setiap tahunnya. Studi yang dilakukan Dr Indi juga menunjukkan 62,58 persen virus AI asal Indonesia mengalami mutasi pada proteinnya.
Virus-virus AI yang muncul pada tahun 2007-2008 pun diketahui lebih resisten terhadap amantadin dibanding virus pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan vaksin yang ada di Indonesia selama ini kurang tepat.
"Kebijakan pemerintah Indonesia yang menggunakan vaksin isolat lokal kemudian beralih menjadi H5N2 dalam menanggulangi AI pada unggas sebaiknya dikaji ulang," kritik doktor yang pernah mendapatkan penghargaan dari Microbiology Indonesia Society sebagai The 2nd Best Paper Award 2009.
Penggunaan vaksinasi sebagai salah satu dari sembilan strategi pengendalian penyakit flu burung di sektor peternakan ternyata menghadapi berbagai kendala. Konsekuensinya adalah risiko munculnya virus baru karena tekanan imunologis akibat vaksinasi.
Diharapkan dengan adanya studi ini, pemerintah bisa lebih perhatian lagi terhadap monitoring dan update vaksin Avian Influenza. Karena jika terus bermutasi kemungkinan akan menghasilkan virus yang lebih ganas dan menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
"Para pengambil kebijakan di atas sebaiknya mendengarkan ilmuwan dan jangan banyak bermain politik saja. Saya tahu jatuh bangunnya istri saya dalam menyelesaikan studi ini. Tapi saya bangga karena istri saya bisa memberi sesuatu yang sangat bermanfaat untuk Indonesia," kata sang suami yang merupakan sarjana peternakan, Sutanto Arso Birowo, SPt.
Indi yang juga seorang ibu dari satu orang anak ini mendapatkan hadiah gelar doktornya tepat di hari ibu. Prestasi yang ia capai menandakan bahwa seorang ibu selain bisa mengurus suami dan anak-anaknya, juga bisa menyumbangkan ilmunya untuk kemajuan bangsa dan negara.(fah/ir)
Sumber : Nurul Ulfah - detikHealth
Alhasil, Avian Influenza mulai terlupakan. Padahal tanpa banyak orang tahu, telah terjadi mutasi pada virus flu burung di Indonesia. Menariknya adalah virus yang mengalami mutasi berasal dari unggas yang rutin diberi vaksin.
Dengan adanya mutasi ini ditakutkan efek dan penanganannya harus berbeda lagi pada manusia. Penanganan vaksin sebelumnya sudah terbukti tidak mempan lagi pada unggas.
Hal tersebut dipaparkan oleh drh. Ni Luh Putu Indi Dharmayanti, MSi dalam sidang disertasinya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ketika ditemui detikhealth, Selasa (22/12/2009), di FKUI Salemba Jakarta.
Menurut dokter hewan yang meraih gelar doktornya dengan IPK 3,97 tersebut, jika Indonesia masih menggunakan strategi vaksin lama untuk menangani flu burung maka harus ada evaluasi dan up date vaksin tersebut secara rutin minimal setiap 2 tahun sekali.
"Kebijakan pemerintah harus dievaluasi terutama di sektor peternakan karena dari sektor itulah virus berasal dan bermutasi," kata doktor kelahiran Banyuwangi 1972. Indi saat ini bekerja sebagai peneliti muda di Departemen Virologi Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.
Dalam studinya, Indi mengisolasi 20 virus Avian Influenza (AI) subtipe H5N1 asal unggas yang berasal dari tahun 2003 hingga 2008, baik yang sudah divaksin maupun yang belum divaksin.
Hasil isolasi tersebut menunjukkan bahwa unggas yang divaksin justru mengalami mutasi sekitar 6-7 persen setiap tahunnya. Studi yang dilakukan Dr Indi juga menunjukkan 62,58 persen virus AI asal Indonesia mengalami mutasi pada proteinnya.
Virus-virus AI yang muncul pada tahun 2007-2008 pun diketahui lebih resisten terhadap amantadin dibanding virus pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan vaksin yang ada di Indonesia selama ini kurang tepat.
"Kebijakan pemerintah Indonesia yang menggunakan vaksin isolat lokal kemudian beralih menjadi H5N2 dalam menanggulangi AI pada unggas sebaiknya dikaji ulang," kritik doktor yang pernah mendapatkan penghargaan dari Microbiology Indonesia Society sebagai The 2nd Best Paper Award 2009.
Penggunaan vaksinasi sebagai salah satu dari sembilan strategi pengendalian penyakit flu burung di sektor peternakan ternyata menghadapi berbagai kendala. Konsekuensinya adalah risiko munculnya virus baru karena tekanan imunologis akibat vaksinasi.
Diharapkan dengan adanya studi ini, pemerintah bisa lebih perhatian lagi terhadap monitoring dan update vaksin Avian Influenza. Karena jika terus bermutasi kemungkinan akan menghasilkan virus yang lebih ganas dan menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
"Para pengambil kebijakan di atas sebaiknya mendengarkan ilmuwan dan jangan banyak bermain politik saja. Saya tahu jatuh bangunnya istri saya dalam menyelesaikan studi ini. Tapi saya bangga karena istri saya bisa memberi sesuatu yang sangat bermanfaat untuk Indonesia," kata sang suami yang merupakan sarjana peternakan, Sutanto Arso Birowo, SPt.
Indi yang juga seorang ibu dari satu orang anak ini mendapatkan hadiah gelar doktornya tepat di hari ibu. Prestasi yang ia capai menandakan bahwa seorang ibu selain bisa mengurus suami dan anak-anaknya, juga bisa menyumbangkan ilmunya untuk kemajuan bangsa dan negara.(fah/ir)
Sumber : Nurul Ulfah - detikHealth